Cerita Inspirasi Muslim

Menanam Hikmah Dalam Diri Setiap Muslim

Pengorbanan Seorang Nabiyullah

Nabi Ibrahim a.s adalah seorang utusan Allah SWT yang taat dan hanif. Berkali-kali ia diuji oleh Allah SWT dengan cobaan yang tiada seorang pun sanggup melaluinya. Namun, ia membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah SWT di atas segalanya hingga dia berhasil menjalani ujian demi ujian dengan gemilang.

Ujian berat pertama yang harus dilalui Ibrahim a.s adalah ketika anak yang sudah lama ia dambakan harus berpisah dengannya. Bayi mungil itu bernama Ismail. Ia lahir dari istri Ibrahim a.s yang bernama Siti Hajar r.a.

Belum lama Ibrahim a.s menikmati status barunya sebagai ayah, ia menerima perintah dari Allah SWT untuk membawa putranya yang masih merah bersama Siti Hajar ke sebuah tempat yang sama sekali belum diketahuinya.

Padahal, saat itu ia sedang merasakan masa-masa bahagia menimang Ismail mungil. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain bagi Ibrahim a.s selain menaati perintah-Nya. Diajaklah Siti Hajar r.a dan Ismail dalam buaiannya menuju tempat yang diperintahkan. Sebuah awan besar mengiringi perjalalanan mereka.

Baca selengkapnya »

Ketaatan Anak Saleh

Ismail a.s tumbuh menjadi remaja yang tampan. Di usianya yang masih belia, tampak kelembutan hati dan kebijaksanaan terpancar dari wajahnya. Saat-saat bahagia ia rasakan ketika Allah SWT mempertemukan kembali dengan ayahnya yang telah terpisah selama bertahun-tahun.

Meskipun sebenarnya hal itu bukan kehendak sang ayah untuk meninggalkan Ismail bayi dan sang istri di sebuah padang gersang dan tandus di masa lampau. Justru pada saat itu hati Ibrahim a.s sedang terpaut cinta yang dalam kepada putra semata wayangnya tersebut.

Kini ayah dan anak dipersatukan kembali oleh Allah. Ismail a.s merasakan kembali curahan cinta dan kasih sayang seorang ayah. Akan tetapi, belum lama mereka melepas rindu dan kasih sayang, Allah SWT menurunkan perintah selanjutnya.

Ibrahim a.s bermimpi menyembelih putra semata wayangnya yang begitu ia cintai. Tentu saja mimpi itu membuatnya bimbang karena ayah mana yang tega membunuh putra tercintanya. Benarkah mimpi itu datang dari Allah SWT atau hanyalah tipu daya setan terkutuk?

Baca selengkapnya »

Sebuah Penantian yang Panjang

Sebelum Muhammad diutus menjadi rasul, beliau mengadakan transaksi dengan seseorang yang bernama Abdullah bin Abi Khansa. Pada transaksi itu ternyata ada sisa barang yang harus Abdullah kembalikan kepada Muhammad. Akhirnya, mereka menyepakati untuk bertemu di sebuah tempat pada waktu yang telah ditentukan.

Malang bagi Muhammad, ternyata Abdullah lupa akan janji tersebut. Ia baru ingat keesokan harinya dan ia merasa tidak perlu bertemu Muhammad saat itu karena pikirnya, Muhammad pasti sudah kembali pulang.

Ia berpikir akan langsung ke rumah Muhammad untuk mengantar barang sekaligus meminta maaf akan kekhilafannya. Ia pun berencana pergi keesokan harinya.

Dua hari berlalu dari hari yang telah disepakati, Abdullah berangkat dari rumahnya menuju kediaman Muhammad. Untuk mencapai rumah Muhammad, ia melewati jalan yang dijadikan tempat pertemuan antara dia dan Muhammad dua hari yang lalu.

Baca selengkapnya »

Penjaga Malam

Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. hendak bermalam di sebuah tempat sepulangnya dari peperangan. Beliau dan pasukannya mendirikan perkemahan di sana. Ammar bin Yasir r.a dari kaum Muhajirin dan Abbad bin Bashir r.a dari golongan Anshar menawarkan diri untuk menjaga kemah Rasulullah saw.

Mereka pun berjaga di puncak bukit yang kemungkinan akan dilalui oleh musuh. Abbad r.a berkata kepada Ammar r.a, "Bagaimana kalau kita berjaga secara bergiliran? Sekarang aku yang berjaga dan kamu boleh tidur. Berikutnya giliran kamu yang berjaga dan aku yang tidur."

Ammar r.a menyetujuinya, lalu merebahkan diri dan langsung terlelap dengan nyenyaknya. Sambil berjaga, Abbad r.a melaksanakan shalat. Tiba-tiba sebatang anak panah musuh menancap di tubuhnya. Disusul dengan dua anak panah berikutnya.

Ia pun segera menyelesaikan shalatnya, lalu mencabut ketiga anak panah tersebut. Setelah itu, ia membangunkan sahabatnya yang tertidur, "Hai, Ammar! Bangunlah, ada musuh!"

Baca selengkapnya »

Kehormatan Menunaikan Amanah

Pada masa jahiliah hiduplah seorang penyair bernama Umru'ul Qais keturunan kerajaan Kindah yang memiliki julukan Penyair Emas. Syair-syairnya sangat tajam mengkritik pemerintahan baru Kerajaan Kindah yang zalim. Ia pun berencana pergi ke Romawi untuk meminta bantuan dan perlindungan dari kezaliman Raja Kindah.

Sebelum berangkat, ia menitipkan tameng, persenjataan, dan barang-barang berharga lain yang nilainya sangat besar kepada Samuel sesama penyair. Qais berpesan agar jika terjadi sesuatu padanya, barang-barang tersebut hanya boleh diserahkan kepada ahli warisnya.

Konon dalam perjalanannya, Qais dibunuh oleh utusan Raja Kindah dengan cara diracun hingga nyawanya pun berakhir. Kemudian Raja Kindah menyuruh pengawalnya untuk mengambil barang-barang milik Qais dari tangan Samuel.

Akan tetapi, Samuel tidak mengizinkannya karena sudah mendapat amanah dari Qais. Segala upaya digencarkan para pengawal Raja Kindah agar barang-barang milik Qais diserahkan, mulai dari membujuk, menjanjikan imbalan, sampai mengancam. Namun, upaya tersebut tidak membuat Samuel melanggar janji dan mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadanya.

Baca selengkapnya »

Mewakafkan Kebun karena Lalai

Di dalam kebun yang rindang, Abu Thalhah r.a menundukkan dirinya dalam kekhusyu'an shalat kepada Allah SWT. Tanpa ia sadari, kekhusyu'annya terusik oleh seekor burung indah yang bermain di antara rerimbunan pepohonan.

Matanya mengikuti gerakan burung tersebut yang melompat-lompat dari satu ranting ke ranting lainnya. Akhirnya, ia pun lupa akan jumlah rakaat shalat yang telah dijalaninya.

Penyesalan luar biasa menyergap dirinya. Setelah menyelesaikan shalat, Abu Thalhah r.a bergegas menemui Rasulullah saw dan menyatakan penyesalannya, "Wahai Rasulullah, aku telah tertimpa musibah karena kebunku ini. Oleh karena itu, kebun ini kuserahkan kepada Allah. Atau, jika kau menghendaki, gunakanlah sesuai keinginanmu"

Mendahulukan Allah SWT

Ibnu Abbas r.a menceritakan keadaan para sahabat yang disibukkan dengan pekerjaan dan perdagangannya. Tatkala azan berkumandang, mereka langsung meninggalkan pekerjaan dan perdagangannya, kemudian berduyun-duyun menuju masjid untuk shalat berjamaah.

Begitu pula yang disaksikan oleh Abdullah bin Umar r.a ketika datang ke sebuah pasar. Ketika tiba waktu shalat berjemaah, para pedagang serentak menutup toko-toko mereka dan bersama-sama berjalan menuju masjid.

Abdullah bin Umar r.a berkata, "Mereka inilah yang diberitakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, 'Orang yang tidak dilalaikan oteh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).' " (QS. An-Nur [24]: 37)

Rasulullah saw memberitakan mereka dalam sabdanya, yang dikutip dari kitab Durul Mantsur karangan Allamah Jalaluddin Suyuti dari Fadhail 'Amal, Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandhalawi r.a, "Pada hari kiamat ketika Allah SWT mengumpulkan manusia pada suatu tempat, Aliah SWT akan mensajukan tiga pertanyaan. Pertanyaan pertama, "Siapakah yang memuji Allah pada waktu senang dan susah?" Maka sekumpulan manusia akan bangun, lalu masuk ke dalam surga tanpa hisab. Pertanyaan kedua, "Siapakah yang meninggalkan tempat tidurnya dan menghabiskan malamnya untuk mengingat Altah SWT dengan perasaan takut dan penuh harap?" Lalu, sekumpulan manusia akan berdiri dan masuk ke dalam surga tanpa hisab. Pertanyaan ketiga, "Siapakah yang perdagangannya tidak menghalanginya dari mengingat Allah?" Kemudian sekumpulan manusia pun akan bangun, lalu masuk surga tanpa hisab. Setelah ketiga kumpulan manusia itu masuk surga, barulah dimulai penghisaban atas manusia yang lainnya."

Majikan Zubair r.a.

Ketika Zubair r.a hendak bergabung dalam suatu peperangan, ia memanggil anaknya yang bernama Abdullah r.a. Ia berwasiat kepada putranya bahwa jika terjadi sesuatu padanya, hendaknya semua utangnya dilunasi oleh putranya itu.

Zubair r.a. berkata kepada Abdullah, putranya, "Wahai Anakku. Jika aku tidak kembali dari peperangan ini, selesaikanlah utang-utangku. Jika kau menemui kesulitan dalam melunasinya, mohonlah kepada majikanku agar melepasmu dari kesukaran."

"Siapakah majikan yang kaumaksud, Ayah?" tanya Abdullah r.a.

"Allah SWT," jawab sang ayah.

Sepeninggal ayahnya yang telah menjadi syuhada, Abdullah bin Zubair r.a. memeriksa buku keuangan ayahnya. Di dalamnya terdapat utang sebanyak dua juta dirham yang harus dilunasi. Hari demi hari berlalu, akhirnya semua utang ayahnya lunas sudah.

Baca selengkapnya »

Menjaga Kepercayaan Orang Lain

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw masih berjaga di masjid. la dikunjungi oleh salah seorang istrinya yang bernama Shafiyyah. Ketika Rasulullah saw mengantarkan istrinya pulang ke rumah, mereka bertemu dengan dua orang sahabat di tengah perjalanan.

Rasulullah saw segera menghentikan langkah mereka dan berkata, "Ini istriku, Shafiyah," sambil membuka cadar (penutup wajah) istrinya. Beliau melakukan hal itu karena khawatir akan timbul prasangka bahwa beliau berjalan dengan wanita nonmahram sepulangnya dari masjid. Oleh karena itu, beliau menunjukkan jati diri wanita yang 'sedang berjalan bersamanya, yang pada saat itu adalah istrinya.

Kedua sahabat berkata, "Allah melarang kami berburuk sangka tentang engkau, wahai Rasulullah."

Rasulullah membenarkan perkataan sahabatnya dan menambahkan, "Berburuk sangka tentang diriku akan menyebabkan hilangnya iman dan masuk ke dalam neraka. Setan akan terus-menerus berputar dalam aliran darah seseorang."

Setan selalu mencari celah untuk menaburkan prasangka dan membesar-besarkannya hingga berakibat hilangnya kepercayaan seseorang terhadap yang lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw mencegah terjadinya hal itu dengan mengungkap hal sebenarnya untuk menghentikan langkah setan menghancurkan hubungan sesama muslim.

Allah SWT sebagai Saksi

Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bercerita tentang dua orang Bani Israel yang meminjamkan uang sebesar 1.000 dinar kepada temannya. Uang sebesar itu bukanlah jumlah yang sedikit. Kemudian si pemberi utang meminta temannya yang akan ia pinjami uang untuk mendatangkan seorang saksi.

Ia berkata, "Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan utang piutang ini."

Temannya menjawab, "Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!"

Kemudian si pemberi utang meminta lagi, "Datangkanlah seseorang yang bisa menjamin utangmu!"

Temannya kembali menjawab, "Cukuplah Allah yang menjaminku!"

Pemberi utang pun berkata, "Engkau benar!"

Setelah itu, ia memberikan 1.000 dinar kepada temannya dan menetapkan waktu pengembaliannya. Semua didasarkan atas saling percaya karena mereka menjadikan Allah SWT sebagai saksi dan penjamin.

Kemudian teman yang berutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluan. Waktu berlalu dan tibalah waktu pembayaran utang yang telah mereka sepakati. Teman yang berutang mencari kapal agar ia dapat kembali ke daerahnya untuk melunasi utangnya.

Baca selengkapnya »

Ketampanan Seorang Pemuda

Ahnaf bin Qais r.a didatangi oleh seorang pemuda dari Suku Thai. Pemuda itu memancarkan aura cahaya yang menyenangkan hati. Ketampanannya sangat beda dengan ketampanan para pemuda tampan pada umumnya. Semua orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan pesonanya, termasuk Ahnaf r.a.

Saat itu Ahnaf r.a menduga ketampanan pemuda itu karena ia rajin berolahraga dan selalu menjaga kesehatan kulitnya dengan biaya dan perawatan mahal. Namun, ia tidak begitu yakin sebelum bertanya langsung kepada orang tersebut. Kemudian Ahnaf r.a mendekati pemuda itu seraya bertanya, "Hai anak muda. Apa rahasiamu sehingga memiliki wajah yang tampan ini?"

"Resepnya ada empat," jawab pemuda itu cepat.

"Apakah itu?" tanya Ahnaf r.a. kembali.

"Pertama, apabila orang berbicara kepadaku, aku mendengarkannya dengan baik. Kedua, apabila berjanji, pasti kutepati. Ketiga, apabila diriku diperhitungkan orang maka aku relakan. Keempat, apabila aku dipercaya, aku tidak mau mengkhianatinya," jelas pemuda itu.

Sambil memikirkan jawaban pemuda tersebut, Ahnaf bin Qais r.a. bergumam, "Inilah pemuda yang tampan luar dalam."

Membela Hak Orang Lain

Suatu hari Abu Jahal membeli beberapa ekor unta dari seorang laki-laki kabilah Khais'am. Ia berjanji akan membayarnya sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati. Namun, ketika batas waktu pembayaran berakhir, Abu Jahal tidak juga membayar utang-utangnya.

Sang pedagang tidak kehabisan akal. Ia pergi ke Masjidil Haram untuk menemui petinggi-petinggi Quraisy di sana. Harapannya hanya satu, ada seseorang di antara mereka yang bersedia membantunya untuk menagih utang kepada Abu Jahal. Ia yakin Abu Jahal akan mendengar nasihat dari para petinggi Quraisy tersebut.

Ketika ia melihat para petinggi Quraisy sedang duduk-duduk dan saling bercengkerama di depan Masjidil Haram, tanpa buang waktu ia segera mendekati mereka. Kemudian ia tumpahkan permasalahan yang dihadapinya dengan harapan para petinggi Quraisy tersebut bersedia membantunya.

Memang orang-orang Quraisy itu mendengarkan curahan hati sang pedagang dengan saksama, tetapi bukannya memikirkan cara membantu sang pedagang, mereka malah melihat situasi ini sebagai kesempatan emas untuk 'mengerjai' Rasulullah saw. Mereka bermaksud mempertemukan Abu Jahal dengan Rasulullah saw agar Abu Jahal leluasa mempermalukan beliau di depan semua orang.

Baca selengkapnya »

Membela Hak Makhluk Allah

Di antara sifat amanah adalah memelihara hak-hak makhluk Allah, termasuk hewan. Rasulullah sangat membenci perlakuan yang semena-mena terhadap hewan.

Misalnya, ketika beliau melihat seseorang sedang mengecoh kudanya. Ia seolah-olah hendak memberi makan kepada kudanya agar kuda tersebut mau menuruti dan mengikutinya, padahal tidak ada makanan yang akan ia berikan pada kudanya. Beliau langsung menegur orang itu, "Janganlah menipu hewan! Jadilah orang yang dapat dipercaya bagi mereka!"

Begitu juga, ketika beliau mendapat laporan bahwa ada beberapa orang mengambil anak-anak burung dari sarangnya. Sementara itu, sang induk berputar-putar sambil terus bercicit di atas sarang dengan gelisah mengetahui anak-anaknya tidak ada di tempatnya.

Berita itu benar-benar membuat sedih Rasulullah. Beliau pun langsung memerintahkan agar anak-anak burung itu dikembalikan ke sarangnya dengan segera.

Baca selengkapnya »

Hak Berbicara untuk Menuntut Hak Miliknya

Suatu ketika seorang Baduy melihat Rasulullah saw bersama para sahabat keluar dari masjid. Ia langsung mencegah langkah Rasulullah saw sambil menarik kerah baju beliau dengan kasar seraya berteriak, "Hai Muhammad! Berikanlah hakku! Kembalikan untaku! Aku yakin kau tidak sanggup mengembalikannya meskipun kaugunakan kekayaanmu ditambah milik ayahmu!"

Melihat Rasulullah saw diperlakukan kasar sedemikian rupa, para sahabat marah dan hendak membalas perlakuan kasar tersebut. Namun, tanpa rasa tersinggung sedikit pun, beliau mencegah para sahabat menyakiti orang Baduy itu. Beliau bersabda, "Biarkanlah orang itu! Sesungguhnya dia memiliki hak berbicara untuk menuntut haknya!"

Kemudian beliau meminta kepada para sahabat, "Berikanlah kepadanya unta berumur sama dengan untanya yang aku pinjam!"

"Para sahabat menuruti perintah beliau dan bergegas mencari unta yang dimaksud Rasulullah saw. Ternyata para sahabat tidak menemukan unta tersebut, melainkan unta yang lebih dewasa umurnya.

Baca selengkapnya »

Jangan Memaksakan Kehendakmu, Amirul Mukminin!

Ketika masa pemerintahan khalifah Umar bin Khaththab r.a, Masjid Nabawi senantiasa disesakkan oleh jemaah kaum muslimin yang terus bertambah. Kemudian Umar r.a berniat untuk memperluas masjid tersebut agar bisa menampung kaum muslimin yang hendak beribadah di dalamnya.

Semua rumah di sekitar masjid telah dibelinya, kecuali rumah Abbas bin Abdul Muthalib r.a atau Abul Fadhal (ayahnya Fadhal, putra sulungnya). Amirul Mukminin pun menemuinya dan berkata, "Wahai Abul Fadhal, seperti yang kaulihat bahwa masjid sudah tidak cukup menampung jemaah yang akan shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada di sekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatui Mu'minin (para istri nabi). Kami tidak mungkin membeli dan membongkar kamar-kamar Ummahatul Mu'minin. Oleh karena itu, aku meminta kepadamu agar kau mau menjual rumahmu berapa pun harga yang kau mau dari Baitul Mal."

Abbas r.a. menjawab singkat, "Tidak mau!"

Bukan Umar r.a namanya jika ia patah semangat. Ia pun menawarkan tiga pilihan bagi Abbas r.a,"Juallah rumahmu! Kau boleh meminta harga berapa pun dari Baitul Mal, aku akan membangunkanmu sebuah bangunan lain dari Baitul Mal, atau kamu berikan rumahmu sebagai harta sedekah kepada kaum muslimin!"

Abbas r.a tetap pada pendiriannya, "Aku tidak mau menerima semua itu!"

Baca selengkapnya »

Suami Zainab r.a, Abul Ash bin Rabi' r.a

Abul Ash bin Rabi' adalah seorang pemuda Mekah yang terkenal dengan kepribadiannya yang santun, cakap dalam berdagang, dan kaya-raya. Ia mempersunting Zainab, putri Muhammad dari Khadijah, untuk menjadi istrinya.

Saat itu Muhammad belum diangkat menjadi rasul. Muhammad dan Khadijah sangat bangga memiliki menantu yang baik seperti Abul Ash.
Ketika Muhammad diangkat menjadi rasul, Zainab menjadi bagian dari orang-orang yang pertama masuk Islam.

Akan tetapi, Abul Ash tetap teguh memegang keyakinannya yang lama. Ia tidak mau orang lain berpendapat bahwa keislamannya dikarenakan mengikuti jejak sang istri.

Mereka berdua adalah dua insan yang saling mencintai. Kaum musyrikin Quraisy berkali-kali menyuruh Abul Ash untuk menceraikan Zainab r.a. Dengan tegas, ia menolak permintaan itu mentah-mentah, "Demi Tuhan, aku tidak akan menceraikan istriku. Tidak ada wanita lain dari kaum Quraisy yang kucintai melebihi dia!"

Baca selengkapnya »

Keteguhan Menjaga Rahasia

Seorang wanita mendatangi Ahmad bin Al-Mahdi ketika ia bermalam di Bagdad. Ahmad bin Al-Mahdi bukanlah penduduk asli Bagdad. Sedangkan, wanita yang mendatanginya adalah seorang putri dari warga kota tersebut yang sedang dirundung masalah.

Ia akan menceritakan permasalahannya, tetapi Ahmad bin Al-Mahdi harus bersumpah agar merahasiakannya. Ahmad bin Al-Mahdi pun menyanggupinya.

Wanita itu bercerita bahwa ia telah hamil. Selama itu ia mengaku sebagai istri Ahmad dan bayi dalam kandungannya adalah darah daging Ahmad.

Dia memohon dengan sangat agar Ahmad bin Al-Mahdi mau menjaga rahasianya dengan berkata, "Simpanlah rahasiaku, semoga Allah menutupi rahasiamu seperti halnya engkau menutupi rahasiaku." Wanita itu pun segera pergi meninggalkannya.

Baca selengkapnya »

Wanita yang Menolak Pinangan Rasulullah

Wanita itu adalah Ummu Hani r.a. Nama sebenarnya adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia berasal dari kabilah Ouraisy dari keturunan Bani Hasyim. Ummu Hani r.a adalah saudara kandung Ali bin Abi Thalib r.a.

Sebelum Rasulullah saw menerima wahyu, beliau pernah meminang Ummu Hani melalui pamannya, Abu Thalib, yang juga ayah Ummu Hani. Sayangnya, sang ayah telah mengikat perjanjian dengan Habirah bin Abi Wahab yang telah meminang putrinya terlebih dahulu dan Ummu Hani pun menerima pinangan Habirah.

Ketika Islam makin berkembang, Ummu Hani menjadi pemeluk Islam. Namun, suaminya tetap bertahan dengan kekafirannya. Mereka pun berpisah dan Ummu Hani r.a hidup menjanda bersama anak-anaknya.
Kemudian Rasulullah saw meminang kembali Ummu Hani untuk kedua kalinya.

Namun, dengan halus Ummu Hani berkata, "Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Namun, hak suami sangatlah besar, hingga aku merasa takut apabila melayani suami, kemudian anak-anakku terlantar. Dan jika aku mengurusi anak-anak, aku khawatir hak-hak suamiku tidak bisa kupenuhi."

Baca selengkapnya »

Bersabarlah Putriku

Panji-panji terus makin berkobar seiring kemenangan demi kemenangan yang diraih kaum muslimin di seluruh Jazirah Arab hingga ke Persia dan Syria. Harta berlimpah dan beberapa orang tawanan menjadi milik kaum muslimin.

Sebaliknya, di sudut lain kota Medinah, sang putri Rasulullah tercinta, Fatimah r.a, berada dalam kepayahan. Tangannya melepuh, kulitnya mengelupas, dan sangat kasar karena terlalu keras melakukan pekerjaan rumah.

Melihat kondisi sang istri, Ali bin Abi Thalib r.a berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, kau melakukan segala sesuatunya sendiri sampai hatiku merintih tak tega."

Ia memandangi wajah lelah istrinya dan melanjutkan, "Aku dengar ayahmu memperoleh tawanan dan harta rampasan yang melimpah. Bagaimana kalau kita ke rumah beliau dan meminta salah seorang tawanannya untuk kita jadikan pembantu?" usul Ali r.a.

Baca selengkapnya »

Mencintai karena Allah

Umar bin Abdul Aziz hidup dalam kemewahan dan kemegahan hidup bersama istrinya yang memiliki ayah seorang khalifah. Setiap hari Umar mengenakan jubah terindah dan pakaian terbaiknya dengan wewangian mahal hingga meninggalkan aroma harum di setiap jalan yang telah ia lalui. Berjam-jam ia menata rambutnya sampai-sampai terlambah shalat berjemaah. Apa pun yang ia mau dengan mudahnya ia dapatkan.

Hal ini sangat berkebalikan ketika ia terpilih menjadi khalifah meneruskan amanah sang mertua. Kehidupannya berubah seratus persen. Kemewahan yang begitu didambakan setiap orang, ia tinggalkan begitu saja. Sungguh tindakan yang sangat langka karena umumnya setiap orang mencari jabatan agar dapat hidup mewah dan bergelimang harta.

Keputusan ini ia sampaikan kepada istri tercintanya, Fatimah binti Abdul Malik. Bagaimanapun juga, kehidupan barunya akan melibatkan kehidupan istrinya yang lama dibuai kemewahan.

Umar berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, masalah besar telah menimpaku. Aku diberi beban yang paling berat dan aku akan dimintai pertangungjawaban tentang manusia yang paling jauh serta yang paling dekat dari umat Muhammad saw.

Baca selengkapnya »

Keturunan Bersahaja

Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama yang kaya dan dermawan. Suatu ketika seorang wanita sederhana datang mengadu kepadanya. la berpikir bahwa wanita tersebut akan meminta sedekah darinya, sebagaimana kebanyakan orang.

Namun, sebelumnya ia mendengarkan pengaduan wanita tersebut dengan saksama, "Tuan, saya adalah ibu rumah tangga yang telah ditinggal mati suami. Setiap hari saya bekerja siang hingga malam. Siang hari saya bekerja mengurus anak-anak dan rumah tangga, sedangkan malam hari saya merajut benang untuk dijual sebagai penghasilan kami. Namun, saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli lampu sehingga saya biasa mengerjakannya di bawah sinar rembulan."

Mendengar cerita wanita tersebut, Imam Ahmad tergerak hatinya untuk menolong. Apalagi jika yang ia butuhkan hanya sebuah lampu. Namun, ternyata cerita itu belum selesai. Imam Ahmad mengurungkan niatnya untuk memberi sedekah demi mendengarkan kelanjutan cerita wanita tersebut.

Sambil menarik nafas, wanita itu mengadu kembali dengan wajah penuh kesedihan, "Hingga pada suatu ketika, kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Lampu-lampunya terang benderang karena banyak jumlahnya. Saya pun segera memanfaatkan cahaya tersebut untuk merajut. Akan tetapi, setelah pekerjaan saya selesai, saya bimbang, apakah rajutan itu jika dijual, hasilnya halal dimakan oleh saya dan anak-anak? Sebab saya menggunakan lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara yang sudah barang tentu adalah uang rakyat juga."

Baca selengkapnya »

Penuhilah Hak Dirimu, Dia, dan Mereka

Dari Abu Juhaifah Wahab bin Andullah r.a menceritakan bahwa Nabi saw mempersaudarakan antara Salman r.a dan Abu Darda' r.a. Suatu hari Salman r.a mengunjungi Abu Darda' r.a dan ia melihat istri Abu Darda' r.a mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa perhiasan sedikit pun.

Karena haru, Salman r.a. bertanya, "Mengapa keadaanmu seperti ini?"
la menjawab, "Saudaramu, Abu Darda' tidak mempunyai minat pada pesona dunia (perempuan)."

Lalu, datanglah Abu Darda' r.a untuk membuatkan makanan. Setelah itu, ia berkata kepada Salman r.a, "Makanlah, hari ini aku sedang berpuasa."

Salman r.a menjawab, "Aku tidak akan makan hingga engkau makan."

Ketika malam tiba, Abu Darda' r.a pergi untuk shalat dan berkata kepada Salman r.a, "Tidurlah!" Lalu, Salman r.a pun tidur.

Namun, tidak lama kemudian Salman r.a terbangun dan melihat saudaranya masih terjaga. la pun menyuruh Abu Darda' r.a untuk tidur. Akhirnya, mereka berdua pun tidur.

Baca selengkapnya »

Aku Hanya Ingin Berhias, Ayah

Idul Adha akan tiba. Setiap wanita tentu ingin berhias untuk menyambut hari raya tersebut. Termasuk Siti Zainab r.a, putri Ali bin Abi Thalib r.a. Saat itu ayahnya menjabat sebagai Amirul Mukminin. Zainab r.a. pun memberanikan diri untuk meminjam kalung berlian dari Baitul Mal.

Ia mendatangi Ali bin Abi Rafi', seorang sahabat Nabi saw yang bertanggung jawab atas Baitul Mal seraya berkata, "Wahai Ibnu Abi Rafi', pinjamilah aku kalung berlian agar aku dapat berhias di Hari Idul Adha dan aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian!"

Mengingat peminjam adalah putri Amirul Mukminin, Abi Rafi' r.a pun meminjamkannya.

Ketika Ali bin Abi Thalib r.a mengetahui putrinya memakai kalung berlian, dia pun bertanya, "Dari mana kau dapatkan kalung berlian itu, Zainab?"
Siti Zainab r.a. menjawab, "Aku meminjamnya dari Ibnu Abi Rafi', Ayah. Aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian."

Mendengar hal itu, Amirul Mukminin tampak geram segera memanggil Ali bin Abi Rafi' untuk menegur, "Hai Ibnu Abi Rafi'! Apakah kau mau mengkhianati kaum muslimin?"

Baca selengkapnya »

Kesaksian Penduduk Mekah

Sejak kanak-kanak, Muhammad terkenal dengan kejujurannya. Penduduk Mekah berkata tentang sifat amanah beliau, "Jika engkau harus pergi dan perlu seseorang untuk menjaga istrimu, percayakan dia kepada Muhammad tanpa ragu-ragu sebab dia tidak akan menatap sekejap pun pada wajahnya. Jika engkau ingin memercayakan hartamu untuk dijaga, percayakan kepada orang jujur dan dapat dipercaya ini sebab dia tidak akan pernah menyentuhnya. Jika engkau mencari seseorang yang tidak pernah berbohong dan tidak pernah melanggar kata-katanya, pergilah ke Muhammad sebab apa pun yang dikatakannya adalah benar!"

Seluruh penduduk Mekah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada Rasulullah saw. Mereka tidak sungkan-sungkan untuk menitipkan barang-barangnya yang berharga kepada Rasulullah. Bahkan, setelah beliau diangkat menjadi rasul pun, musuh-musuhnya masih ada yang memercayakan barang-barangnya kepada beliau.

Para pemuda Mekah menyapa Rasulullah saw. ketika melintas di depan mereka seraya berkata kepada beliau, "Demi Allah, wahai Muhammad, engkau terkenal sebagai seseorang yang tidak pernah mengingkari janji, baik di masa kecilmu maupun sesudah engkau dewasa."

Kaum Muslimin yang Tertindas

Kaum muslimin dibuat gusar oleh kesepakatan antara Rasulullah saw. dan pihak Quraisy yang diwakili oleh Suhail, ayah Abu Jandal r.a. Dalam kesepakatan yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah itu tertulis bahwa pihak muslimin harus mengembalikan setiap orang dari pihak Quraisy yang menggabungkan diri dengan kaum muslimin setelah perjanjian tersebut disepakati.

Ketika itu datanglah Abu Jandal bin Suhail r.a dalam keadaan terikat dan telah mengalami siksaan oleh kaum Quraisy karena keislamannya. Tentu saja dengan isi perjanjian itu Abu Jandal r.a tidak akan mendapat pertolongan dari kaum muslimin di Medinah karena ia harus tetap berada di Mekah dan kembali mengalami siksaan.

Abu Jandal r.a. memohon, "Saudara-saudara muslimin, apakah kalian akan mengembalikan aku kepada orang-orang musyrik itu agar mereka menyiksaku karena keislamanku?"

Sebenarnya kaum muslimin tidak tega melihat kekejaman dan penyiksaan kaum musyrikin Quraisy yang ditimpakan kepada Abu Jandal r.a. Rasulullah pun menitikkan air matanya karena melihat kondisi Abu Jandal r.a yang kepayahan dan memelas mohon pertolongan.

Baca selengkapnya »

Larangan Ikut Perang karena Perjanjian

Kaum muslimin berbondong-bondong meninggalkan Mekah menuju Medinah, sebuah kota yang awalnya bernama Yastrib. Hijrahnya kaum muslimin tersebut mendapat rintangan dari penduduk asli Mekah yang membenci Islam, yaitu kaum musyrikin Quraisy. Segala upaya mereka gencarkan untuk mencegah kaum muslimin keluar dari kota Mekah dan bergabung dengan Rasulullah saw di Medinah.

Suatu hari Hudzaifah bin Yaman r.a beserta ayahnya, Husain r.a, hendak menyusul Rasulullah saw hijrah ke Medinah. Namun, di tengah perjalanan orang-orang Quraisy mencegat dan menginterogasi mereka, "Apakah kalian berdua hendak berhijrah mengikuti Muhammad?"

"Tidak, kami hanya hendak ke Medinah," jawab Hudzaifah r.a. Ia menjawab demikian agar mereka diizinkan lepas dari kepungan orang-orang musyrikin Ouraisy.

Mendengar jawaban Hudzaifah r.a, salah seorang dari mereka berkata, "Kami izinkan kalian meneruskan perjalanan ke Medinah, tetapi awas kalau kami melihat kalian berperang bersama Muhammad nanti!"

Baca selengkapnya »

Bagian untuk Muallaf

Setelah 19 hari seusai penaklukan kota Mekah, kaum Hawazin dan Tsaqif berkumpul di Hunain untuk mengatur rencana memerangi Rasulullah saw. Berita tersebut terdengar oleh Rasulullah saw. Kemudian beliau mengirim mata-mata untuk menyusup ke kubu musuh dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang persiapan mereka.

Ternyata kaum Hawazin tidak ingin peperangan yang ala kadarnya. Mereka ingin pasukan muslimin ditumpas habis dalam peperangan sehingga mereka mengumpulkan seluruh harta benda berharga mereka dan mengajak kabilah-kabilah yang belum masuk Islam untuk bergabung dengan mereka.

Mendengar informasi bahwa pasukan musuh benar-benar mempersiapkan diri untuk berperang, Rasulullah saw segera menyusun kekuatan untuk menghadapi mereka. Banyak para mualaf yang meminjamkan bala bantuan berupa uang sebanyak 40.000 dirham, 30 ekor unta, 3.000 batang tombak, termasuk 100 buah perisai baja dari Shafwan bin Umayyah, dan 30 buah dari muallaf lainnya.

Hari pertemuan dua pasukan itu pun tiba. Pertemuan dua pasukan yang sangat kuat itu menimbulkan peperangan yang sangat dahsyat dan sengit di Hunain. Atas pertolongan Allah SWT, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran meskipun sempat dibuat kocar-kacir oleh pihak musuh.

Baca selengkapnya »

Keluarga Pemegang Kunci Ka'bah

Kemenangan gemilang diraih umat Islam pada peristiwa Fathu Mekah. Kaum musyrikin Quraisy yang angkuh dan sombong hanya tertunduk takut dan takluk di hadapan kaum muslimin yang dahulu mereka tindas. Sungguh karunia Allah SWT yang sangat besar yang diberikan kepada umat Islam sehingga kaum muslimin dapat melenggang penuh kehormatan memasuki kota Mekah, kampung halaman yang begitu mereka rindukan.

Pengorbanan harta dan jiwa, rasa sakit tersayat-sayat, serta sedih dan pilu yang mereka rasakan saat memperjuangkan kebenaran terobati sudah dengan menyaksikan kemenangan yang nyata ini.

Salah satu tugas yang harus dilaksanakan Rasulullah saw dan kaum muslimin di Mekah adalah membersihkan Ka'bah, rumah Allah, dari sesembahan kaum musyrikin Ouraisy. Setelah beliau melakukan thawaf dan beristirahat sejenak, beliau memanggil Bilal r.a dan menyuruhnya untuk meminjam kunci Ka'bah dari keluarga Utsman bin Thalhah.

Kunci Ka'bah memang dipercayakan kepada keluarga Utsman bin Thalhah secara turun-menurun meskipun mereka masih memegang ajaran agama jahiliah.

Baca selengkapnya »

Amanah Bendaharawan Pribadi Rasulullah saw

Bilal r.a. adalah sahabat kepercayaan Rasulullah saw yang bertugas mengurus keuangannya. Apabila datang seseorang kepada beliau dalam keadaan lapar, beliau akan menyuruh Bilal r.a untuk melayani keperluan orang tersebut karena Rasulullah saw tidak pernah menyimpan sesuatu untuk diberikan. Selanjutnya, Bilal r.a akan mencari pinjaman demi melaksanakan tugas Rasulullah tersebut.

Suatu hari seorang musyrik mendatangi Bilal r.a. Ia mengetahui bahwa Bilal r.a selalu mencari pinjaman untuk memenuhi perintah Rasulullah saw. Kemudian ia menyusun tipu daya agar Bilal r.a tunduk menjadi budaknya.

Ia pun menawarkan bantuan yang sebenarnya adalah tipu muslihatnya kepada Bilal r.a, "Ketahuilah bahwa aku adalah orang yang paling banyak harta bendanya. Jika kamu menghendaki pinjaman, datanglah kepadaku. Dengan senang hati, aku akan membantumu."

Mengingat bahwa tidak semua orang senang diutangi, Bilal r.a pun menerima tawaran tersebut seraya berkata, "Ini adalah tawaran terbaik yang pernah saya terima." Sejak saat itu, Bilal r.a. selalu meminjam uang kepada orang musyrik tersebut untuk memenuhi keperluan orang-orang yang Rasulullah saw kehendaki.

Baca selengkapnya »

Mengembalikan Pajak Nonmuslim

Selama kekhalifahan Umar bin Khaththab r.a, Abu Ubaidah r.a dipercaya sebagai kepala tentara muslim di Syria. Di tempat itu seluruh rakyat nonmuslim diwajibkan membayar pajak perlindungan kepada Abu Ubaidah r.a.

Suatu ketika Kaisar Byzantium, Romawi, hendak merebut Syria dari tangan kaum muslimin. Tentu saja penduduk nonmuslim, seperti Kristen dan Yahudi menyambut gembira rencana Romawi. Mereka tidak perlu bersusah payah membayar pajak kepada orang Islam jika Romawi berhasil merebut kembali Syria dari tangan kaum muslimin.

Abu Ubaidah r.a khawatir penduduk nonmuslim di Syria akan membelot membela Romawi. Belum lagi jumlah tentara Islam lebih sedikit jika dibandingkan tentara Romawi. Tentu saja hal ini akan menyusahkan pasukan Islam.

Abu Ubaidah r.a mengusulkan kepada para perwira prajurit muslim untuk mengosongkan kota Syria dan mengasingkan penduduknya agar tidak mengganggu peperangan mereka. Namun, seorang perwira menolak usulan tersebut. Ia berkata, "Mengasingkan mereka adalah hal yang tidak mungkin. Kita telah berjanji kepada mereka untuk melindungi harta dan jiwa mereka. Janji itu harus kita tepati!"

Baca selengkapnya »

Melebihkan Pembayaran

Zaid bin San'an r.a mengisahkan bahwa sebelum ia memeluk Islam, Rasulullah pernah meminjam sejumlah uang kepadanya. Kemudian dia menemui Rasulullah untuk menagih utang sebelum jatuh tempo sambil menghina beliau dan berkata, "Hai cucu Abdul Muthalib, kamu enggan membayar utangmu, ya?!"

Umar r.a yang pada saat itu berada di antara mereka marah dan berteriak, "Hai musuh Allah! Kalau saja tidak ada perjanjian antara kami dan umat Yahudi, aku akan memenggal kepalamu! Bicaralah yang sopan kepada Rasulullah!"

Di luar dugaan, ternyata Rasulullah tersenyum kepadanya dan berkata kepada Umar r.a, "Bayarlah dan tambahkan 20 galon karena engkau telah menakutinya."

Kemudian kisah ini dilanjutkan oleh Umar r.a. Setelah itu kami pergi bersama-sama. Di tengah perjalanan, Zaid secara tak terduga berkata, "Umar, kamu marah kepadaku. Namun, aku temukan dalam dirinya semua ciri nabi terakhir yang dicatat dalam Taurat dan Perjanjian Lama. Kitab itu memuat ayat, 'kelembutannya melebihi kemarahannya. Kelancangan yang songat atas dirinya justru menambah kelembutan dan kesabarannya.' Aku sengaja hendak menguji kesabarannya. Sekarang aku yakin bahwa dia adalah nabi yang kedatangannya diramalkan dalam Taurat. Jadi, aku percaya dan bersaksi bahwa dia adalah nabi terakhir."

Pidato Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.

Wafatnya Rasululullah saw meninggalkan duka yang sangat dalam di hati para sahabat. Meskipun demikian, bukan berarti perjuangan berhenti begitu saja. Tampuk kepemimpinan harus terus bergulir untuk menjaga dan mengurus umat, terutama dalam menyiarkan syariat Islam yang telah sempurna.

Masyarakat pun sepakat bahwa tampuk pimpinan diberikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun, baginya, jabatan sebagai khalifah bukanlah pekerjaan yang didamba-dambakan. Terdapat tanggung jawab yang besar kepada Allah SWT dan rakyatnya. Dirinya merasa belum layak menjadi pemimpin. Hal ini tergambar dalam pidatonya ketika menerima jabatan sebagai khalifah pertama.

"Hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pemimpin atas kalian, bukan berarti aku yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berbuat kebaikan, bantulah aku. Dan, jika aku bertindak keliru, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.

Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah. Sebaliknya, siapa yang kuat di antara kalian, dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya.

Baca selengkapnya »

Khalifah yang Tetap Merakyat

Setelah pembaiatannya menjadi khalifah, Abu Bakar r.a. mendengar seorang wanita berkata, "Sekarang ia (Abu Bakar r.a) tidak akan memerahkan susu kambing kami lagi!"

Sebuah prasangka yang wajar jika wanita itu mengira bahwa Abu Bakar r.a yang kini menduduki jabatan tertinggi di negaranya akan lupa kepadanya, apalagi melakukan pekerjaan rakyat kecil.

Perkataan wanita itu benar-benar mengusik hati sang Khalifah. Abu Bakar r.a sangat mengenali suara itu, suara wanita tua pemilik kambing yang sering ia bantu untuk memerah susu kambingnya. Ia pun mendatangi kediaman wanita tua tersebut.

Sebuah kunjungan yang tak terduga bagi wanita tua tersebut ketika seorang khalifah agung berdiri di depan rumahnya. Dengan bahagia, wanita tua itu berkata, "Aku pikir engkau akan melupakan kami."

Senyum khalifah yang begitu damai seolah menepis pendapat tersebut.

Baca selengkapnya »

Kehati-hatian Menggunakan Uang Gaji

Aisyah r.a bercerita ketika ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, diangkat menjadi khalifah, ia berkata, "Rakyatku telah mengetahui bahwa uangku dan perdaganganku telah mencukupi keluargaku, tetapi sekarang aku telah disibukkan dengan urusan kekhalifahan dan menyelesaikan urusan kaum muslimin sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berdagang. Oleh karena itu, nafkahku ditetapkan oleh Baitul Mal." (HR Bukhari)

Abu Bakar r.a sudah ditunjuk menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad saw yang telah meninggal dunia, tetapi ia tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sejak pagi dini hari, Abu Bakar r.a. telah membawa beberapa kain untuk dijual di pasar. Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan Umar bin Khaththab r.a. Mereka pun saling berucap salam. "Hendak ke mana engkau, wahai Abu Bakar?" tanya Umar r.a.

"Ke pasar!" jawabAbu Bakar r.a sambil menunjukkan barang dagangannya.

Mendengar itu, Umar r.a. mengingatkan tugas Abu Bakar r.a sebagai khalifah negara dengan bertanya, "Jika kamu disibukkan dengan perdaganganmu, kapan kau akan mengurus umat?"

Baca selengkapnya »

Uang Tunjangan Umar bin Khaththab r.a

Sebelum diangkat menjadi khalifah, Umar bin Khaththab r.a menafkahi keluarganya dari usaha berdagangnya. Namun, setelah diangkat menjadi khalifah, tidak ada waktu baginya untuk mengurus perdagangannya. Artinya, ia tidak memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.

Para sahabat berkumpul untuk menentukan besarnya tunjangan yang akan diberikan kepada Umar r.a. Mereka pun memberi usulan berbeda-beda. Namun, tidak ada pendapat yang cocok di hati Umar r.a. Kemudian Umar r.a melihat Ali bin Abi Thalib r.a hanya diam saja. la pun menanyakan pendapat Ali r.a. tentang besaran tunjangan yang layak baginya, "Bagaimana menurutmu, Ali?"

Ali r.a menjawab, "Ambillah uangyang bisa mencukupi keperluan keluargamu." Pendapat itu sangat menyenangkan hati Umar r.a. Akhirnya, mereka menetapkan uang tunjangan sebesar permintaan Umar r.a sendiri.

Dengan kebebasan Umar r.a. menentukan uang gajinya, apakah ia memanfaatkan peluang itu untuk mengambil harta sebanyak-banyaknya dari Baitul Mal? Ternyata tidak sama sekali. Para sahabat melihatnya, ternyata ia hanya mengambil gaji ala kadarnya hingga kehidupan keluarganya menjadi susah.

Baca selengkapnya »

Jangan Kamu yang Menimbang

Suatu hari Umar bin Khaththab r.a menerima kesturi dari Bahrain. Kemudian ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, "Adakah di antara kalian yang bersedia untuk menimbangnya dan membagikan kepada orang Islam?"

Istrinya yang bernama Atikah r.a berkata, "Saya bersedia menimbangnya!"

Mendengar keinginan sang istri, Umar r.a terlihat berpikir sejenak. Kemudian ia kembali bertanya kepada orang-orang, "Adakah yang bersedia menimbang kesturi ini dan membagikannya kepada orang Islam?"

Atikah r.a kembali menawarkan diri untuk kedua kalinya. Namun, Umar r.a tetap tidak menanggapi sehingga ia pun bertanya untuk ketiga kalinya dengan pernyataan kesediannya.

Umar r.a berkata kepada istrinya, "Aku tidak suka kamu meletakkan kesturi itu dengan tanganmu ketika menimbang, kemudian kamu mengusap-usap tanganmu yang berbau kesturi itu ke badanmu. Sungguh jika demikian berarti aku akan mendapat lebih dari hakku yang halal!"

Baca selengkapnya »

Khalifah Membantu Proses Persalinan

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a mempunyai kebiasaan berkeliling di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya dengan cara menyusuri tiap rumah rakyatnya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kemah tua yang berdiri di tengah tanah lapang. Padahal, sebelumnya belum ada kemah tersebut, lalu sang Khalifah pun mendekatinya.

Sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang menangis karena menahan sakit. Suara itu makin jelas ketika Umar r.a makin dekat menuju kemah tua itu. Di depan kemah, seorang lelaki duduk dengan gelisah dan tampak jelas kegalauan di raut wajahnya.

Amirul Mukminin menyapa dan menanyakan keadaannya. Lelaki itu menjawab, "Saya adalah orang asing yang datang dari sebuah hutan. Di dalam tenda istri saya sedang menahan sakit karena akan melahirkan anak kami. Saya berharap belas kasihan dari Amirul Mukminin. Akan tetapi, saya ragu dia akan membantu kami!"

"Izinkanlah aku membantumu!" Umar r.a menawarkan bantuan kepadanya.

Orang tersebut tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan Amirul Mukminin. la pun menolak mentah-mentah tawaran tersebut, "Apa yang dapat kau lakukan untuk kami? Sudahlah, uruslah urusanmu sendiri."

Baca selengkapnya »

Aku adalah Pelayanmu

Siang hari yang terik menggersangkan padang pasir di seluruh penjuru kota. Tidak seorang pun yang kuat menahan panasnya. Unta-unta pun berteduh di bawah bayangan masjid.

Lewatlah sesosok lelaki yang berjalan terburu-buru sambil menutup mukanya menembus panas terik dan angin berdebu. Mungkinkah ia lelaki asing yang sedang mencari tempat berlindung?

Tidak lama kemudian lelaki itu kembali lagi menantang terik matahari yang menyengat. Namun, kali ini ia menyeret seekor sapi yang enggan melakukan perjalanan sulit tersebut. Utsman bin Affan r.a yang mengamati keseluruhan peristiwa sejak awal dari jendela rumahnya tergerak untuk menolong orang tersebut.

Sungguh tak habis pikir, di saat orang lain beristirahat di dalam rumah yang teduh dan hewan-hewan piaraan memilih untuk bermalas-malasan, tetapi orang ini rela berpanas-panasan. Ada apa gerangan? Siapakah orang itu? Semua pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Utsman r.a.

Baca selengkapnya »

Milikku, Urusanku

Suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab r.a. hendak menengok sahabatnya yang sedang sakit. la pun menyewa kendaraan untuk pergi ke tempat sahabatnya itu.

Di tengah perjalanan, sorban Umar r.a tersangkut di sebuah ranting pohon, tetapi ia tidak menyadarinya. Setelah berjalan agak jauh, seseorang memberitahunya, "Wahai Amirul Mukminin! Sorbanmu tersangkut di pohon itu!" sambil menunjuk ke arah pohon yang dimaksud.

Umar r.a. langsung menghentikan kendaraannya dan turun untuk mengambil sorbannya dengan berjalan kaki.

Sekembalinya dari mengambil sorban, pelayan yang membawa kendaraannya bertanya kepada Umar r.a, "Mengapa Tuan tidak menyuruh saya untuk membelokkan kendaraan ini agar Tuan tidak usah berjalan kaki?"

"Kau dan kendaraan yang aku sewa ini hanya untuk perjalanan dari rumahku menuju rumah sahabatku. Tidak ada perjanjian sebelumnya untuk berputar mengambil sorbanku yang tersangkut ranting pohon," jawab Umar r.a santai.

Baca selengkapnya »

Lebih Baik Meminjam Darimu

Suatu hari Khalifah Umar bin Khaththab r.a mendatangi Abdurrahman bin Auf r.a untuk meminjam uang sebesar 400 dirham. Tentu saja hal ini membuat Abdurrahman r.a heran karena sahabatnya adalah Amirul Mukminin yang memegang kunci Baitul Mal dan tidak sulit untuk meminjam harta dari sana, lalu mengembalikannya.

Ia pun meminta penjelasan Umar r.a dengan bertanya, "Mengapa kau bersusah payah mendatangiku untuk meminjam uang? Bukankah kau memegang kunci Baitul Mal sehingga kau bisa meminjam dari sana dan mengembalikannya nanti?"

Umar r.a menjawab, "Aku tidak mau meminjam dari Baitul Mal karena aku tidak tahu kapan maut menjemputku. Jika aku mati dalam keadaan berutang pada Baitul Mal, kau dan seluruh kaum muslimin akan menuntutku sehingga kebaikanku akan dikurangi di hari kiamat. Sedangkan, jika aku meminjam darimu dan sesuatu menimpaku, kau dapat menagih utangmu pada ahli warisku."

Teladan Pemimpin

Perluasan wilayah Islam dilakukan dengan penaklukan raja-raja nonmuslim yang menentang dengan peperangan. Banyak raja nonmuslim yang takluk atas keberanian dan ketangguhan pasukan muslim. Salah satu raja yang takluk pada pasukan muslim adalah Raja Kisra.

Setelah mengetahui bahwa pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukannya yang tangguh, Raja Kisra panik dan meninggalkan istananya. Sa'ad bin Abi Waqqash r.a beserta pasukan masuk ke dalam istana tanpa alas kaki.

Begitu mewah dan indah situasi di dalam istana. Lantainya beralaskan permadani yang menghanyutkan kaki penginjaknya hingga sirna seluruh letih dan penat di tubuh. Dinding dan perabotan indah mencerminkan keanggunan, kemewahan, dan kemegahan istana. Pasukan muslimin dibuat terpesona olehnya, termasuk Sa'ad r.a. Kini semua kemewahan itu ditinggalkan oleh pemiliknya dan menjadi hak kaum muslimin.

Sa'ad r.a membacakan firman Allah SWT, "Betapa banyak taman-taman dan mata air-mata air yang mereka tinggalkan, juga kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, dan kesenangan-kesenangan yang dopat mereka nikmati di sana, demikianlah, dan Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang iain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu." (QS. Ad-Dukhan [44]: 25-29)

Baca selengkapnya »

Mengambil Uang Baitul Mal Secara Paksa adalah Perampokan

Aqil bin Abi Thalib r.a mendatangi kakaknya, Ali bin Abi Thallib r.a, yang telah menjabat sebagai khalifah. Dengan mengiba, Aqil r.a meminta bantuan kepada kakaknya, "Wahai Ali, kau adalah saudaraku. Saat ini kau memiliki posisi tertinggi sebagai kepala negara. Aku membutuhkan uang dan aku harap kau bisa memberiku pinjaman demi hubungan baik kita sebagai saudara kandung."

Dengan berat hati Ali r.a menjawab, "Maaf, kali ini aku benar-benar tidak mempunyai uang. Memang aku yang memegang kunci Baitul Mal, perbendaharaan negara, tetapi uang itu milik rakyat, bukan milikku pribadi."

"Aku akan segera mengembalikan pinjaman tersebut. Ayolah!" desak Aqil r.a.

Lantaran Ali r.a. terus-menerus ditodong adiknya, akhirnya ia memanggil salah satu pegawainya sambil menitahkan, "Bawalah saudaraku ini ke pasar. Suruh ia mendobrak pintu semua kedai yang terdapat di sana. Biarkanlah ia mengambil harta sesukanya!"

Aqil r.a. terkejut mendengarnya. Mengambil harta sesukanya bukankah berarti merampok? Dengan wajah merah padam, ia berseru kepada Amirul Mukminin, Ali r.a, "Maksudmu kau menyuruh aku jadi perampok?"

Dengan tenang Ali r.a menjawab, "Ya, bukankah kau tadi memaksa aku untuk merampok uang Baitul Mal yang bukan hakmu?"

Emas dan Perak adalah Api Neraka bagi Kami

Qunbur, salah seorang keluarga Ali bin Abi Thalib r.a membawa kabar gembira untuk Ali r.a, "Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak menyisakan apa-apa untuk keluargamu, padahal keluargamu memiliki hak atas harta dari Baitul Mal ini. Selama ini aku telah menyimpannya untukmu!"

"Apakah itu?" tanya Ali r.a.

"Ikutilah aku!" ajak Qunbur.

Mereka pun berjalan hingga tiba di sebuah rumah kecil tempat kediaman Ali r.a itu sendiri. Di dalamnya terdapat kantung besar teronggok di tepi tembok. Qunbur mempersilakan Ali r.a. untuk membukanya. Alangkah terkejutnya Ali r.a ketika didapati di dalamnya ada bejana-bejana dari emas dan perak.

Ia memandangi Qunbur dengan marah seraya berkata, "Demi Allah, kau ingin memasukkan api yang besar ke dalam rumahku?!"

Ali r.a segera membawa kantung beserta isinya keluar rumah dan membagi-bagikannya kepada orang-orang sambil berkata, "Hai si warna kuning (emas)! Hai si warna putih (perak)! Perdayailah selain aku! Ini silakan ambil ...! Ini silakan ambil ...!" Ia membagikannya hingga tidak ada yang tersisa.

Memangkas Uang Gaji

Setiap hari istri Umar bin Abdul Aziz menyediakan roti tawar yang keras untuk suaminya. la ingin sekali-kali menyediakan hidangan istimewa untuk menyenangkan hati suami tercintanya. la pun mulai menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari uang belanjanya agar cukup dibelikan bahan makanan istimewa tersebut.

Dengan penuh rasa cinta dan membayangkan wajah bahagia suaminya, sang istri menyuguhkan roti gandum isi daging domba masakannya kepada sang suami. Umar terbelalak melihat hidangan lezat di hadapannya dan bertanya kepada sang istri, "Dari mana kau dapatkan makanan mewah ini?"

"Saya membuatnya sendiri, suamiku," jawab sang istri.

"Lantas, dari mana kau peroleh uang untuk membeli bahan-bahan makanan ini?"

"Saya menyisihkan uang belanja kita sedikit demi sedikit selama sebulan," jawab sang istri kembali.

"Berapa yang kau habiskan?" tanya Umar

"Sekitar tiga setengah dirham."

Baca selengkapnya »

Segala Puji Hanya untuk Allah SWT

Seorang ibu mendatangi kediaman Umar bin Abdul Aziz r.a dan diterima oleh istri Amirul Mukminin. Tak berapa lama kemudian, Umar r.a keluar dari dalam rumah sambil membawa beberapa buah-buahan yang ranum.

la pun memilih buah-buahan terbaiknya dan diberikan kepada tamunya, sedangkan buah-buahan yang hampir busuk ia sisihkan untuk diri dan keluarganya.

Setiap kali ibu tersebut menerima buah dari Amirul Mukminin, ia berucap, "Alhamdulillah ...."

Tentu saja hal ini menyenangkan hati Amirul Mukminin yang kemudian menanyakan maksud kedatangannya. "Saya memiliki lima orang anak yang belum memiliki pekerjaan, bantulah kami, wahai Amirul Mukminin," pinta ibu tersebut.

Baca selengkapnya »

Uang Panas Milik Negara

Ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sedang menikmati kacang adas dan bawang, seorang wanita datang kepadanya. Wanita itu adalah bibinya. Umar yang telah mengetahui tabiat bibinya sudah bisa menebak maksud kedatangannya. Sang bibi akan meminta uang dari Baitul Mal karena kemenakannya adalah Amirul Mukminin.

Umar r.a mengambil sekantung uang perak yang sebelumnya telah dibakar di atas bara api hingga panas. Kemudian ia menyerahkannya kepada bibinya sambil berkata, "Inilah tambahan yang bibi minta!"

Betapa senangnya hati bibi Umar r.a memperoleh uang tambahan dari kemenakannya. Tatkala ia menerima kantung pemberian itu, sontak ia menjerit keras kepanasan.

Melihat hal itu Umar r.a langsung menasihati bibinya, "Kalau api dunia terasa begitu panas, bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakarmu, begitu juga aku karena menyelewengkan harta kaum muslimin!"

Milik Negara untuk Kepentingan Negara

Di suatu malam kelam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk mengerjakan tugas negara ditemani sebuah lentera kecil yang sinarnya tidak seberapa. Cahaya di ruangan kerja sang khalifah begitu redup, padahal ia harus membaca dan menulis.

Namun, tampaknya ia sangat menikmati kebersahajaan itu. Padahal, wilayah kekuasaannya sangat luas dan harta bertumpuk di Baitul Mal. Bukannya negara tidak mampu memberikannya lentera yang lebih terang, tetapi sang Amirul Mukminin lebih memilih menggunakan sedikit mungkin harta dari Baitul Mal dan menggunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat. la tidak ingin terjebak dalam penyalahgunaan harta negara.

Kala itu seseorang bertamu ke tempatnya. Dalam ruangan yang remang-remang, Amirul Mukminin menjawab salam tamu tersebut seraya bertanya, "Apakah kedatanganmu ini untuk keperluan negara atau pribadi?"

"Saya kemari untuk membicarakan urusan pribadi dengan Anda," jawabnya.

Umar lantas mematikan lenteranya sehingga suasana menjad gelap temaram. Tamu tersebut bertanya, "Mengapa kau matikan lentera itu?"

"Bukankah engkau kemari untuk urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan negara? Lentera beserta cahayanya ini dibayar oleh negara karena itulah aku matikan agar tidak terjadi penyelewengan penggunaan harta negara," jelasnya.

Sa'ad bin Amir r.a, Pejabat Amanah

Umar bin Khaththab r.a sebagai khalifah mengangkat Sa'ad bin Amir Al-Jamhi r.a sebagai gubernur. Meskipun tawaran tersebut sempat ditolak Sa'ad r.a, Umar r.a tetap mendesaknya. Pengangkatan ini dikarenakan Sa'ad r.a adalah sahabat yang taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya serta dapat dipercaya.

Hingga suatu ketika Umar r.a mendapat laporan dari rakyatnya bahwa gubernur yang telah diangkatnya lalai menjalani tugas. Tentu saja Umar r.a terkejut mendengar laporan tersebut.

Ia heran karena pengangkatan Sa'ad menjadi gubernur sudah dipertimbangkan masak-masak sebelumnya. Bagi Umar r.a, Sa'ad r.a memenuhi kriteria untuk menjalankan amanah tersebut. Apakah benar jabatan telah mengubah kepribadian Sa'ad r.a. hingga lalai mengurus rakyatnya?

Tanpa membuang waktu, Umar r.a segera memanggil Sa'ad r.a untuk menanyakan kebenaran laporan tersebut. Ia berjanji kepada para pelapor akan memecat gubernurnya jika terbukti bersalah.

Baca selengkapnya »

Lembu Emas Anak yang Taat

Ada seorang saleh dari Bani Israel. Ia memiliki seorang anak yang masih kecil dan seekor anak lembu. Mengingat usianya yang sudah tua, sang ayah menyadari bahwa sepeninggalnya nanti, anak kesayangannya tidak akan memiliki apa-apa kecuali sang ibu dan lembu yang masih kecil itu.

Sang anak belum cukup umur untuk bisa memelihara lembu tersebut. Kemudian sang ayah memutuskan untuk menitipkan lembu itu kepada Sang Maha Pencipta, yang tidak pernah tidur dan selalu menjaga makhluk-Nya, yaitu Allah SWT.

Selanjutnya, ia membawa anak lembu itu ke dalam hutan seraya berdoa, "Ya Allah. Saya titipkan lembu ini kepada-Mu untuk putraku hingga ia dewasa!" Tidak berapa lama kemudian, ajal menjemput sang ayah.

Kini, lembu kecil tersebut hidup sendiri di dalam hutan tanpa ada yang menggembalai. Setiap ada pemburu yang mendekatinya, ia langsung lari terbirit-birit. Demikianlah, hewan itu selalu berhasil menghindar dari orang-orang yang berniat menangkapnya.

Baca selengkapnya »

Abdurrahman bin Auf r.a, Sahabat Terpercaya

Rasulullah saw. bersabda, "Abdurrahman bin Auf adalah orang terpercaya di langit dan orang terpercaya di bumi."

Siapa tidak kenal saudagar kaya-raya ini? Ia terkenal dengan kedermawanan, kemandirian, dan ketulusan menolong sesama. Begitu besar limpahan nikmat yang Allah SWT anugerahkan kepadanya, hingga ia dijuluki sahabat bertangan emas.

Harta kekayaan dan pundi-pundi emas mengalir tiada henti kepadanya. Bahkan, seandainya ia membalikkan batu, niscaya di bawahnya terdapat emas dan perak yang berlimpah. Itulah perumpamaan atas kelancaran dan kemudahan Allah SWT atasnya dalam memperoleh harta kekayaan.

Meskipun demikian, kenikmatan luar biasa itu tidak membuatnya terlena. Ia berderma kepada fakir miskin dan para istri Nabi saw, memerdekakan puluhan budak, dan menyuplai keperluan militer kaum muslimin untuk berperang.

Baca selengkapnya »

Besar Zakat yang Kurang

Ubay bin Ka'ab r.a pernah ditugaskan oleh Rasulullah saw untuk mengambil zakat di sebuah wilayah. la pun bertemu dengan seseorang yang hendak membayar zakatnya. Kemudian Ubay r.a mengumpulkan keterangan tentang harta orang tersebut dan menghitung zakatnya.

Hasilnya adalah ia harus menyerahkan zakat seekor anak unta yang baru berusia setahun. Namun, orang itu tidak setuju dengan hasil perhitungan Ubay r.a. Kemudian ia mengajukan keberatannya seraya berkata, "Apa gunanya seekor anak unta yang baru berusia setahun? Engkau tidak dapat mengambil susunya atau menungganginya. Aku memiliki seekor unta betina dewasa. Ambillah unta betina itu sebagai gantinya!"

Ternyata orang tersebut merasa zakat yang harus ia keluarkan terlalu kecil dan kurang berguna. Lalu, ia menawarkan unta dewasa yang bisa dimanfaatkan susunya dan dapat ditunggangi. Akan tetapi, Ubay r.a pun keberatan dengan tawaran orang tersebut.

Ia mengajukan alasannya dengan berkata, "Tugas yang dipikulkan kepadaku tidak membenarkan aku mengambil lebih dari apa yang telah ditetapkan," jawab Ubay r.a tegas. Merasa tidak puas dengan jawaban utusan tersebut, orang itu mendatangi Rasulullah saw sambil membawa unta betinanya.

Baca selengkapnya »

Abdullah bin Mas'ud, Seorang Anak Gembala yang Jujur

Tersebutlah seorang anak berjiwa kuat dan jujur bernama Abdullah bin Mas'ud atau lebih terkenal dengan nama Ibnu Mas'ud. la adalah seorang penggembala kambing yang cekatan. Ratusan kambing ia tangani dan tidak satu pun luput dari pengawasannya. la pula yang mengatur makan dan minuman gembalaannya tersebut.

Pada suatu ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. lewat di sebuah padang yang luas tempat Ibnu Mas'ud menggembalakan kambingnya. Mereka melihat kambing-kambing gembalaan Ibnu Mas'ud yang gemuk dan sehat. Merasa dahaga dan lelah, terbesitlah dalam pikiran mereka berdua untuk meminum susu kambing gembalaan tersebut.

Mereka berdua menghampiri Ibnu Mas'ud yang terlihat sibuk mengatur kambing-kambingnya. Ketika ditanya adakah kambing yang dapat diperah susunya, Ibnu Mas'ud mengiyakan.

Namun, sayangnya, Ibnu Mas'ud tidak bisa memberikan kepada mereka. Bocah itu berkata, "Susu itu ada, tetapi sayang mereka bukan milikku. Kambing-kambing ini hanyalah amanah dari orang lain yang dititipkan kepadaku."

Baca selengkapnya »

Sehidup Semati

Ibnu Abbas r.a menuturkan bahwa Umar bin Khaththab r.a berangkat menuju kota Syam untuk menemui Abu Ubaidah Al-Jarrah r.a yang telah berhasil menguasai seluruh wilayah Syam. Pada waktu itu wabah penyakit menular (tha'un) yang sangat berbahaya sedang menyerang penduduk Syam sehingga banyak korban yang berjatuhan.

Umar r.a. yang mengetahui adanya wabah penyakit berbahaya di Syam mengurungkan niatnya untuk pergi ke sana. Lalu, Umar r.a. menulis surat kepada Abu Ubaidah r.a yang isinya, "Saya datang untuk bertemu denganmu. Namun, saya tidak dapat masuk ke dalam kota karena adanya penyakit yang sedang mengganas. Seandainya surat ini sampai ke tanganmu siang hari, segeralah berangkat menemuiku sebelum sore!"

Ketika Abu Ubaidah r.a membaca surat itu, ia berkata, "Saya tahu maksud Amirul Mukminin memerintahku demikian. la ingin agar saya terhindar dari penyakit berbahaya ini."

la pun membalas surat sang Khalifah, "Wahai Amirul Mukminin, saya sangat mengerti maksud Anda. Saya sedang berada di tengah-tengah tentara muslimin dan sedang bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tidak ingin berpisah dengan mereka, hingga Allah memberikan keputusan kepada kami keselamatan atau kebinasaan. Jika surat ini sampai ke tangan Khalifah, maafkan saya karena tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Izinkan saya bersama mereka."

Baca selengkapnya »

Amanah untuk Ali r.a

Berita mengenai rencana hijrah Rasulullah saw. terdengar oleh kaum musyrikin Quraisy. Mereka pun mengumpulkan algojo-algojo terkuatnya untuk menghadang kepergian Muhammad keluar dari kota Mekah ke Medinah.

Namun, Rasulullah telah terlebih dahulu menyusun strategi jitu agar perjalanan hijrahnya lancar. Dalam rencana tersebut beliau melibatkan Ali bin Abi Thalib r.a, seorang pemuda belia yang pertama masuk Islam untuk mengecoh musuh Allah dengan tidur di peraduan Rasulullah saw.

Ia juga ditugaskan untuk mengembalikan barang-barang titipan penduduk Mekah yang dipercayakan kepada Rasulullah saw. Setelah itu, ia harus mengatur hijrahnya tiga wanita yang bernama Fatimah, yaitu Fatimah Az-Zahra r.a. (putri Rasulullah saw.), Fatimah binti Asad r.a. (ibunda Ali r.a.), dan Fatimah binti Zubair r.a.

Malam harinya, seluruh algojo terbaik telah mengepung kediaman Rasulullah saw. Dengan beringas dan bersemangat, mereka mendobrak pintu rumah dan mendapati seseorang berselimut tengah tidur di tempat tidur Rasulullah saw.

Baca selengkapnya »

Tepat dalam Menunaikan Janji

Umar bin Khaththab r.a mendapat pengaduan dari seorang penggembala unta dan anak pemilik kebun anggur ketika ia masih menjabat sebagai khalifah. Anak pemilik kebun tersebut menuntut si penggembala agar dihukum mati karena telah membunuh ayahnya. Umar r.a pun meminta si penggembala menceritakan peristiwa yang menyebabkan ia harus membunuh si pemilik kebun anggur tersebut.

Dia lalu bercerita. Ketika ia sedang menggembalakan unta-untanya, tanpa ia sadari hewan gembalaannya tersebut masuk ke dalam kebun anggur milik seseorang. la pun segera menghalau unta-untanya agar keluar dari lingkungan kebun.

Namun, pemilik kebun anggur tersebut keburu memergokinya. Saking marahnya, si pemilik anggur mengangkat bongkahan batu besar dan melemparnya ke arah seekor unta dan jatuh tepat di kepalanya. Unta itu menggelepar dan tidak lama kemudian mati.

Tentu saja kejadian itu membuat si penggembala panik. Bagaimana tidak, unta itu bukan miliknya. la hanya diberi upah untuk menggembalakan hewan ternak milik orang lain. Kepanikannya itu membuatnya hilang akal. Diambilnya bongkahan batu yang menyebabkan kematian unta gembalaanya, lalu ia lempar balik ke pemilik kebun hingga ia pun tewas seketika.

Baca selengkapnya »

Mencuri Harta Rampasan

Sepulang dari Perang Khaibar, seorang pembantu Rasulullah saw. terkena anak panah yang tidak diketahui asal usulnya. Ia pun mati seketika. Para sahabat kemudian berdoa, "Semoga dia dikaruniai surga."

Akan tetapi, Rasulullah saw berkata lain, "Saya tidak sependapat dengan kalian!"

Para sahabat terperanjat, mereka lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah dia telah ikut andil dalam perjuangan melawan musuh-musuh Allah?"

Rasulullah saw menjawab, "Ia menggunakan jubah hasil rampasan perang yang belum menjadi haknya. la telah melanggar amanah, mengambil barang yang bukan haknya. Jubah itu kelak akan melingkari tubuhnya dalam bentuk api di hari pengadilan nanti!"

Mendengar penjelasan tersebut, seorang sahabat mengaku, "Wahai Rasulullah. Saya telah mengambil dua tali sepatu dari hasil rampasan perang tanpa izin," ujarnya sambil gemetar.

"Kembalikanlah atau dia akan mengikat kakimu dalam bentuk api di hari pengadilan nanti!"

Larangan Mengkhianati Amanah

Di zaman Rasulullah saw hiduplah seorang penggembala. Melihat keluhuran budi pekerti Rasulullah saw dan keagungan akhlak beliau, akhirnya penggembala itu masuk Islam tanpa sepengetahuan majikannya. Setelah ia mengikrarkan keislamannya, ia pun mengajukan usul yang ia kira dapat menguntungkan umat Islam.

Saat itu permusuhan antara kaum musyrikin Quraisy di Mekah dan kaum muslimin di Medinah makin memuncak sehingga mengarah pada peperangan. Atas dasar itulah si penggembala hendak memberikan kontribusi pertamanya pada Islam.

la berkata kepada Rasulullah saw, "Saya adalah penggembala yang mengurus ratusan domba kepunyaan orang musyrik yang sangat membenci dan memusuhi risalahmu."

"Lalu?" Rasulullah saw. meminta penjelasan lebih lanjut.

"Saya yakin umat Islam kini sedang membutuhkan dana untuk persiapan peperangan," jelasnya lagi.

"Lalu?" tanya beliau lagi.

Baca selengkapnya »

Mengungkap Pengkhianat

Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bercerita tentang seorang Nabi Allah, bernama Yusya bin Nun a.s, yang hendak berperang. la berseru kepada kaumnya, "Tidak boleh ikut bersamaku dalam peperangan ini seorang laki-laki yang telah berkumpul bersama istrinya dan dari itu dia berharap anak dan belum mendapatkannya. Begitu pula, orang yang sedang membangun rumah, tetapi belum menyelesaikan atapnya serta orang yang telah membeli kambing atau unta bunting yang dia tunggu kelahiran anaknya!"

Kemudian Nabi Yusya bin Nun a.s bersama pasukannya berangkat jihad.

Ketika sampai pada daerah yang dituju, waktu menunjukkan saat Ashar atau menjelang Ashar. Nabi Yusya bin Nun a.s. berkata kepada matahari, "Hai Matahari! Engkau tunduk kepada perintah Allah dan aku pun demikian. Ya Allah, tahanlah matahari itu sejenak agar tidak terbenam!"

Allah pun menahan matahari sehingga panas tidak begitu terik sampai Nabi Yusya bin Nun a.s. bersama pasukannya berhasil menaklukkan tempat tersebut. Setelah itu, bala tentaranya mengumpulkan harta rampasan yang diperoleh, (pada masa sebelum Rasulullah saw, harta rampasan tidak dihalalkan untuk pasukan nabi).

Baca selengkapnya »

Meminta Jabatan

Suatu hari Abu Musa Al-Asy'ari r.a datang menghadap Rasulullah saw bersama kedua sepupunya. Salah seorang sepupu Abu Musa r.a berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan untuk membantu tugas-tugasmu!"

Rasulullah saw menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya."

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a bercerita, "Ketika Rasulullah saw sedang berbicara di hadapan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu bertanya, 'Kapankah terjadi hari kiamat?' Namun, Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang mengatakan bahwa Rasulullah mendengarnya, tetapi beliau membenci perkataannya itu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau tidak mendengarnya. Setelah selesai berbicara, Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari kiamat tadi?' Orang yang bertanya tadi berkata, 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah hari Kiamat.' Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat'! " (HR Bukhari)

Baca selengkapnya »

Nabi Yusuf a.s dan Jabatan

Allah SWT mengisahkan ketika Nabi Yusuf a.s. ditawari sebuah jabatan oleh raja kafir: "Dan raja berkata, "Bawalah dia (Yusuf) kepadaku agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku." Ketika dia (raja) tetah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata, "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya." Dia (Yusuf) berkata, "Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan." (QS. Yusuf [12]: 54-55).

Syekh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan tentang ayat ini dalam tafsirnya Bahjatul Qulub Al-Abrar bahwa Nabi Yusuf a.s meminta posisi sebagai bendaharawan Mesir karena ia memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk melaksanakan tugas tersebut yang tidak mungkin dilakukan orang lain.

Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan, maupun penegakan keadilan yang sempurna.

Kemudian ketika beliau melihat sang raja mendekatkan diri kepadanya (menjadikannya orang kepercayaan) dan mengutamakannya atas raja itu sendiri serta pada kedudukan yang tinggi, sudah menjadi kewajiban baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja dan rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya sebagai utusan Allah.

Baca selengkapnya »

Menolak Jabatan Hakim

Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid hiduplah seorang tokoh penghafal Al-Qur'an, ahli ibadah, dan meriwayatkan banyak hadis yang dijadikan acuan para ulama.

Dia bernama Abdullah bin Idris Al-Kaudi Al-Kufi atau terkenal dengan nama Abdullah bin Idris. Dia memiliki kemuliaan melebih para raja, hidup dalam kesederhanaan, dan menjadi suri teladan bagi semua orang.

Suatu hari Harun Ar-Rasyid memanggilnya. la pun bertanya kepada Ibnu Idris, "Tahukah kamu mengapa aku memanggilmu?"

"Tidak," jawab Ibnu Idris singkat.

Harun menjelaskan, "Penduduk negeri ini memintamu menjadi hakim bagi mereka. Namamu disebut mereka di antara nama-nama lain. Setelah aku mempertimbangkannya, aku setuju untuk memercayakan jabatan itu kepadamu demi kemaslahatan umat. Bersumpahlah dan lakukan tugasmu sebagaimana mestinya!"

Baca selengkapnya »

Panglima Perang Termuda

Usamah r.a di usianya yang 18 tahun sudah diamanahi untuk memimpin pasukan perang muslimin melawan tentara Romawi. la berkulit hitam dan memiliki nama lengkap Usamah bin Zaid bin Haritsah bin Syurahbil bin Ka'ab bin Abd Al-Uzza Al-Kalbi.

la juga biasa dipanggil Abu Muhammad. la memiliki gelar Hibb Rasulullah (jantung hati Rasulullah) dan Ibnu Hibb Rasulullah (putra dari jantung hati Rasulullah). Ayahnya adalah Zaid bin Haritsah r.a, anak angkat Rasulullah saw yang sangat beliau cintai.

Ibunya adalah Ummu Aiman, seorang budak hitam yang mengasuh Muhammad kecil dan dimerdekakan oleh Rasulullah saw. Zaid lebih memilih tinggal bersama Muhammad dari pada kembali kepada ayahnya, Haritsah.

Seusai Rasulullah saw menyelesaikan haji Wada', beliau mempersiapkan pasukan muslimin untuk menghadapi tentara Romawi. Tentara Romawi dengan sadis membunuh salah seorang kepala daerah mereka bernama Farwah bin Umar Al-Judzami ketika diketahui memeluk Islam.


Baca selengkapnya »

Reputasi Seseorang Dilihat dari Teman Bergaulnya

Suatu ketika seseorang memberitahukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahwa gubernur suatu wilayah yang baru dilantiknya pernah memegang jabatan pada pemerintahan Hajaj bin Yusuf. Saat itu juga Umar mengeluarkan perintah untuk memecat gubernur tersebut.

Mengetahui dirinya dipecat, gubernur tersebut membela diri, "Saya memang pernah bekerja pada pemerintahan Hajaj, tetapi tidak lama."

Umar menanggapi pembelaan orang tersebut dengan berkata, "Pergaulanmu dengannya meskipun hanya sehari atau kurang dari sehari sudah cukup menjadikanmu orangyang buruk!"

Umar tetap teguh pada pendiriannya untuk memecat orang tersebut. Siapakah Hajar bin Yusuf sebenarnya? Mengapa reputasinya begitu buruk di mata Umar? Ternyata dia adalah gubernur zalim yang membunuhi para ulama termasuk putra Asma' binti Abu Bakar, yaitu Abdullah bin Zubair.

Oleh karena itu, Umar menilai bahwa orang-orang yang bekerja sama atau pernah bekerja sama dengan gubernur zalim itu tidak lebih baik darinya.

Baca selengkapnya »

Ilmu adalah Amanah

Sudah menjadi kebiasaan jika seorang guru menguji santri-santrinya sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh ilmu yang lebih tinggi lagi. Yusuf bin Al-Husain mendengar bahwa Dzu Nun Al-Mishri memiliki pengetahuan paling tinggi dan mulia, yaitu ilmu tentang asma Allah. Karena ingin memperoleh ilmu tersebut, Yusuf bin Al-Husain segera bertolak ke Mesir untuk menjadi murid Dzu Nun.

Setahun berlalu dan Yusuf masih setia mengabdikan dirinya sebagai santri di tempat Dzu Nun tinggal. Namun, ilmu yang ia dambakan tak kunjung diajarkan. la pun memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya, "Wahai Guruku. Aku telah mengabdikan diri untukmu dan kini aku menuntut hakku darimu. Engkau mengetahui asma Allah yang paling agung dan kau telah mengenalku dengan baik. Oleh karena itu, berilah aku jalan untuk memperoleh ilmu tersebut!" pinta Yusuf.

Dzu Nun hanya terdiam menanggapi permintaan muridnya. Yusuf pun tidak berani mengusik gurunya dengan permohonannya tersebut. Akhirnya, Yusuf memilih untuk bersabar hingga gurunya bersedia menurunkan ilmu tinggi itu kepadanya.

Enam bulan kemudian, sang guru memerintahkan Yusuf untuk mengantar sebuah kotak yang dibalut sapu tangan kepada sahabatnya yang tinggal di Fushthath. Sang guru berpesan agar tidak membuka kotak tersebut karena isinya sangat berharga.

Baca selengkapnya »

Tidak Ada Bagian untuk Kerabat

Isa bin Uqbah r.a mengisahkan ketika Iyadh bin Ghanam r.a diangkat menjadi gubernur, serombongan keluarganya yang berasal dari tempat jauh datang mengunjunginya dengan maksud meminta harta. Meskipun mereka berniat seperti itu, Iyadh r.a tetap menyambut mereka dengan baik dari hormat.

Setelah beberapa hari menginap di kediaman sang gubernur, mereka pun pamit pulang. Masing-masing dari mereka yang berjumlah lima orang diberi bekal sepuluh dinar. Kontan mereka menolaknya mentah-mentah. Mereka pikir uang sejumlah itu tidak akan cukup sebagai bekal perjalanan jauh. Apalagi sebagai seorang gubernur, tentunya bisa memberi uang lebih dari itu.

Iyadh r.a pun menjelaskan dengan sabar, "Wahai kerabatku. Aku menghargai perjalanan jauh yang kalian tempuh dan aku mengakui bahwa kalian adalah kerabatku. Namun, ketahuilah bahwa harta yang aku berikan kepada kalian tidak lain adalah hasil dari menjual budakku dan barang-barang milikku! Maafkan aku jika tidak bisa memenuhi keinginan kalian!"

"Sungguh keterlaluan! Kau adalah penguasa separuh Syam, tetapi kau tidak mau memberi harta yang cukup untuk perjalanan kami!" ungkap kerabat Iyadh r.a dengan kesal.

Baca selengkapnya »

Keteladanan Umair bin Sa'ad r.a.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab r.a, penduduk Hims sangat kritis terhadap para pembesar mereka sehingga sering mengadu kepada Khalifah Umar. Setiap pembesar yang baru datang memerintah, ada saja celanya bagi mereka. Kemudian segala cela dan kesalahan pembesar tersebut dilaporkan kepada Khalifah agar diganti dengan pembesar lain yang lebih baik.

Penduduk Hims tidak ingin diperintah oleh pejabat yang 'bermasalah'. Kemudian Khalifah Umar mencari seseorang yang tidak bercacat dan namanya belum pernah rusak untuk menjadi gubernur di sana.

Khalifah Umar menyebarkan para utusannya mencari orang yang tepat dengan jabatan itu. Akhirnya, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain Umair bin Sa'ad r.a. Ketika itu Umair r.a sedang bertugas memimpin pasukan perang kaum muslimin di wilayah Syam.

Dalam tugas itu dia berhasil memimpin pasukannya untuk membebaskan beberapa kota, menundukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya. Pada saat itulah Umair r.a dipanggil pulang ke Medinah untuk memangku jabatan sebagai Gubernur Hims.

Baca selengkapnya »
loading...

Blog Archive

loading...