Di zaman itu, kaum Nabi Daud a.s. sering menghadapi peperangan. Mereka menggunakan baju besi yang berat sehingga tidak mampu bergerak dengan leluasa.Kemudian turunlah perintah Allah SWT agar Daud a.s. membuat baju perang dari besi sebagaimana firman-Nya:
"... dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Saba' [34]: 10-11)
Banyak yang berpendapat mengenai penafsiran ayat "dan kami tetah melunakkan besi untuknya" tersebut. Pendapat yang paling banyak diterima adalah Daud a.s. telah menemukan cara untuk melunakkan besi dengan cara meleburnya dengan api sehingga besi yang keras dapat dibentuk sesuai dengan keinginannya.
Kecerdasan Daud a.s. pun terbukti dari baju perang besi hasil buatannya yang terdiri atas bulatan-bulatan besi sehingga pemakainya dapat bergerak bebas sekaligus terlindungi dari pedang, kapak, dan belati musuh.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih Daud a.s. membuatnya menjadi terkenal di mata masyarakat saat itu. Ditambah sifatnya yang lembut dan pengasih kepada setiap orang, membuat seluruh penghuni bumi mencintainya.
Hal ini membuat raja cemburu kepadanya. Kecemburuannya sudah melampaui batas sehingga ia menyiapkan pasukan untuk memerangi Daud a.s. Sudah bisa dipastikan akan terjadi banyak korban untuk melampiaskan amarah raja kepadanya.
Mengetahui hal itu, Daud a.s. tidak ingin konflik antara dirinya dan raja makin memanas, apalagi harus mengerahkan pasukan untuk membunuhnya. Kemudian ia mendatangi raja yang sedang terlelap.
Dengan mudahnya ia mengambil pedang raja dan menyobek pakaian raja dengan pedang tersebut. Kemudian ia membangunkan raja. Alangkah terkejutnya sang raja ketika mendapati Daud a.s. telah berdiri di depannya dengan pedang terhunus.
Hal ini membuat raja cemburu kepadanya. Kecemburuannya sudah melampaui batas sehingga ia menyiapkan pasukan untuk memerangi Daud a.s. Sudah bisa dipastikan akan terjadi banyak korban untuk melampiaskan amarah raja kepadanya.
Mengetahui hal itu, Daud a.s. tidak ingin konflik antara dirinya dan raja makin memanas, apalagi harus mengerahkan pasukan untuk membunuhnya. Kemudian ia mendatangi raja yang sedang terlelap.
Dengan mudahnya ia mengambil pedang raja dan menyobek pakaian raja dengan pedang tersebut. Kemudian ia membangunkan raja. Alangkah terkejutnya sang raja ketika mendapati Daud a.s. telah berdiri di depannya dengan pedang terhunus.
Daud a.s. dikaruniai kerajaan yang besar dan disegani oleh musuh-musuhnya. Tidak ada yang berani melawan kerajaannya sehingga peperangan pun hampir tidak pernah terjadi. Kerajaan Daud a.s. menjadi kerajaan adidaya saat itu.
la pun dikaruniai seorang anak yang kelak akan menjadi nabi pula, yaitu Sulaiman. Putra Daud a.s tersebut tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pandai. Pada usianya yang kesebelas, ia telah membantu ayahnya untuk memutuskan perkara rakyatnya, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an.
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oieh mereka itu. Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya." (QS Al-Anbiya' [21]: 78-79)
Ibnu Abbas r.a mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi Daud a.s didatangi oleh seorang lelaki pemilik kebun bersama seorang lelaki lain untuk mengadu.
la pun dikaruniai seorang anak yang kelak akan menjadi nabi pula, yaitu Sulaiman. Putra Daud a.s tersebut tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pandai. Pada usianya yang kesebelas, ia telah membantu ayahnya untuk memutuskan perkara rakyatnya, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an.
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oieh mereka itu. Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya." (QS Al-Anbiya' [21]: 78-79)
Ibnu Abbas r.a mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi Daud a.s didatangi oleh seorang lelaki pemilik kebun bersama seorang lelaki lain untuk mengadu.
Ibnu Katsir r.a dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Hafidz Ibnu Asakir menceritakan kisah Sulaiman bin Daud a.s. dari Ibnu Abbas r.a. sebagai berikut.
Ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israel. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat hal yang dilaknat Allah, tetapi wanita itu menolak mereka semua. Karena kesal, mereka sepakat untuk membuat kesaksian palsu atas wanita tersebut agar ia dihukum.
Selanjutnya, mereka bersaksi di hadapan Daud a.s. bahwa wanita itu telah berbuat hal yang tidak terpuji dengan anjingnya. Daud a.s pun memerintahkan agar wanita itu dirajam.
Sore hari itu, Sulaiman a.s memikirkan perkara kasus tersebut. la duduk dikelilingi para pembantunya. Kemudian dia menyuruh empat orang pembantunya berakting seperti empat orang lelaki pelapor dan seorang lagi berperan sebagai wanita yang tertuduh.
Ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israel. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat hal yang dilaknat Allah, tetapi wanita itu menolak mereka semua. Karena kesal, mereka sepakat untuk membuat kesaksian palsu atas wanita tersebut agar ia dihukum.
Selanjutnya, mereka bersaksi di hadapan Daud a.s. bahwa wanita itu telah berbuat hal yang tidak terpuji dengan anjingnya. Daud a.s pun memerintahkan agar wanita itu dirajam.
Sore hari itu, Sulaiman a.s memikirkan perkara kasus tersebut. la duduk dikelilingi para pembantunya. Kemudian dia menyuruh empat orang pembantunya berakting seperti empat orang lelaki pelapor dan seorang lagi berperan sebagai wanita yang tertuduh.
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw mengisahkan sebagai berikut:
Alkisah, dua orang wanita pergi bersama-sama dengan membawa bayi mereka. Di tengah perjalanan, seekor serigala menerkam salah satu dari kedua bayi tersebut. Lalu, keduanya berseteru memperebutkan bayi yang selamat dan sama-sama mengaku sebagai ibunya yang asli.
Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya pun pergi menemui Nabi' Daud a.s. untuk menengahi perselisihan mereka. Akhirnya, Daud a.s memutuskan dengan alasan-alasan yang diperolehnya bahwa ibu yang asli dari si bayi tersebut adalah yang paling tua dari kedua wanita tersebut.
Dalam perjalanan pulang, kedua ibu tersebut bertemu dengan Nabi Sulaiman a.s. Wanita yang lebih muda tadi tidak terima dengan keputusan Nabi Daud a.s., ia pun mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s.
Setelah mendengar cerita mereka berdua, Sulaiman a.s. menemukan cara untuk mengetahui siapa ibu kandung yang asli di antara mereka. la pun berpura-pura meminta sebilah pisau seraya berkata, "Berikan kepadaku sebilah pisau untuk memotong tubuh bayi itu menjadi dua bagian, masing-masing dari kalian akan mendapat separuh badan bayi ini," tegas Sulaiman a.s. kepada kedua ibu tersebut.
Alkisah, dua orang wanita pergi bersama-sama dengan membawa bayi mereka. Di tengah perjalanan, seekor serigala menerkam salah satu dari kedua bayi tersebut. Lalu, keduanya berseteru memperebutkan bayi yang selamat dan sama-sama mengaku sebagai ibunya yang asli.
Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya pun pergi menemui Nabi' Daud a.s. untuk menengahi perselisihan mereka. Akhirnya, Daud a.s memutuskan dengan alasan-alasan yang diperolehnya bahwa ibu yang asli dari si bayi tersebut adalah yang paling tua dari kedua wanita tersebut.
Dalam perjalanan pulang, kedua ibu tersebut bertemu dengan Nabi Sulaiman a.s. Wanita yang lebih muda tadi tidak terima dengan keputusan Nabi Daud a.s., ia pun mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s.
Setelah mendengar cerita mereka berdua, Sulaiman a.s. menemukan cara untuk mengetahui siapa ibu kandung yang asli di antara mereka. la pun berpura-pura meminta sebilah pisau seraya berkata, "Berikan kepadaku sebilah pisau untuk memotong tubuh bayi itu menjadi dua bagian, masing-masing dari kalian akan mendapat separuh badan bayi ini," tegas Sulaiman a.s. kepada kedua ibu tersebut.
Muhammad bin Ka'ab Al-Qiradhy menceritakan sebuah kisah berikut ini:
Seorang lelaki mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s., "Ya, Nabi Allah, seorang tetanggaku telah mencuri angsaku!"
Lalu, Nabi Sulaiman a.s. pun menyeru kepada orang-orang di sana, "Wahai orang-orang sekalian, marilah kita shalat berjemaah!"
Seusai shalat, Nabi Sulaiman a.s. menyampaikah khotbah kepada jemaah.
Di tengah-tengah khotbahnya ia berkata, "Salah seorang di antara kalian telah mencuri angsa tetangganya dan kemudian masuk ke masjid dengan bulu angsa masih menempel di kepalanya!"
Tiba-tiba seorang lelaki mengusap kepalanya untuk menepis bulu angsa yang menempel di kepalanya. Padahal, tidak ada sehelai bulu pun melekat di kepalanya. Melihat gelagat orang tersebut, Nabi Sulaiman a.s. berseru, "Tangkap dia! Dialah pencuri itu!"
Seorang lelaki mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s., "Ya, Nabi Allah, seorang tetanggaku telah mencuri angsaku!"
Lalu, Nabi Sulaiman a.s. pun menyeru kepada orang-orang di sana, "Wahai orang-orang sekalian, marilah kita shalat berjemaah!"
Seusai shalat, Nabi Sulaiman a.s. menyampaikah khotbah kepada jemaah.
Di tengah-tengah khotbahnya ia berkata, "Salah seorang di antara kalian telah mencuri angsa tetangganya dan kemudian masuk ke masjid dengan bulu angsa masih menempel di kepalanya!"
Tiba-tiba seorang lelaki mengusap kepalanya untuk menepis bulu angsa yang menempel di kepalanya. Padahal, tidak ada sehelai bulu pun melekat di kepalanya. Melihat gelagat orang tersebut, Nabi Sulaiman a.s. berseru, "Tangkap dia! Dialah pencuri itu!"
Ibnu Abbas r.a. mengisahkan sebuah riwayat sebagai berikut:
Suatu hari Nabi Ibrahim a.s. berkunjung ke rumah putranya, Ismail a.s., yang saat itu telah beranjak dewasa dan telah memiliki seorang istri keturunan suku Jurhum.
Kedatangannya diterima oleh menantunya yang menyatakan bahwa suaminya tidak berada di rumah. Akan tetapi, istri Ismail a.s. belum mengenal Ibrahim a.s. sebagai mertuanya. Ketika ditanya ke mana Ismail a.s. pergi, istrinya menjawab, "Dia pergi mencari nafkah untuk kami."
Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepadanya tentang kehidupan sehari-hari mereka. Wanita itu menjawab, "Kami ini termasuk manusia kurang beruntung." Kemudian menambahkan, "kami selalu berada dalam kesusahan dan kesulitan," adu istrinya kepada Ibrahim a.s.
Setelah mendengar keluh kesah istri putranya, Ibrahim a.s. berpesan, "Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan bahwa aku memintanya untuk mengganti pintu rumahnya."
Suatu hari Nabi Ibrahim a.s. berkunjung ke rumah putranya, Ismail a.s., yang saat itu telah beranjak dewasa dan telah memiliki seorang istri keturunan suku Jurhum.
Kedatangannya diterima oleh menantunya yang menyatakan bahwa suaminya tidak berada di rumah. Akan tetapi, istri Ismail a.s. belum mengenal Ibrahim a.s. sebagai mertuanya. Ketika ditanya ke mana Ismail a.s. pergi, istrinya menjawab, "Dia pergi mencari nafkah untuk kami."
Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepadanya tentang kehidupan sehari-hari mereka. Wanita itu menjawab, "Kami ini termasuk manusia kurang beruntung." Kemudian menambahkan, "kami selalu berada dalam kesusahan dan kesulitan," adu istrinya kepada Ibrahim a.s.
Setelah mendengar keluh kesah istri putranya, Ibrahim a.s. berpesan, "Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan bahwa aku memintanya untuk mengganti pintu rumahnya."
Ibrahim a.s. adalah anak yang sangat cerdas. Kecerdasannya ini telah tampak ketika usianya masih kanak-kanak. Allah SWT menganugerahkan akal yang senantiasa berpikir dan kebijaksanaan dalam kalbunya.
Ayahnya yang bernama Azar adalah seorang pembuat patung untuk dijadikan sesembahan. Ada pula yang mengatakan bahwa Azar adalah pamannya yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri.
Konon, Azar adalah nama berhala yang paling terkenal di antara berhala-berhala lain buatannya. Profesi ayahnya sebagai pemahat patung sesembahan mengangkat keluarganya menjadi keluarga terpandang dan terhormat di mata masyarakat saat itu. Dari iklim kesyirikan inilah Ibrahim mungil dilahirkan.
Meskipun demikian, Allah SWT tetap melindungi fitrah dan kesucian akal serta kalbu Ibrahim kecil. Hingga suatu hari, Ibrahim kecil bermain dengan patung-patung buatan ayahnya dengan menaikinya seperti sedang bermain kuda-kudaan.
Ayahnya yang bernama Azar adalah seorang pembuat patung untuk dijadikan sesembahan. Ada pula yang mengatakan bahwa Azar adalah pamannya yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri.
Konon, Azar adalah nama berhala yang paling terkenal di antara berhala-berhala lain buatannya. Profesi ayahnya sebagai pemahat patung sesembahan mengangkat keluarganya menjadi keluarga terpandang dan terhormat di mata masyarakat saat itu. Dari iklim kesyirikan inilah Ibrahim mungil dilahirkan.
Meskipun demikian, Allah SWT tetap melindungi fitrah dan kesucian akal serta kalbu Ibrahim kecil. Hingga suatu hari, Ibrahim kecil bermain dengan patung-patung buatan ayahnya dengan menaikinya seperti sedang bermain kuda-kudaan.
Pada suatu hari Musa a.s menyampaikan khotbah kepada Bani Israel, menyeru mereka ke jalan Allah dan menjelaskan tentang kebenaran kepada mereka. Setelah ia selesai, seorang pendengar dari Bani Israel bertanya kepadanya, "Adakah orang yang lebih pintar darimu di dunia ini, Nabi Allah?"
"Tidak ada," jawab Musa a.s.
Mengetahui hal itu, Allah hendak menegurnya melalui Malaikat Jibril yang datang kepada Musa a.s untuk bertanya, "Wahai Musa, tahukah engkau di mana Allah meletakkan ilmunya?"
Jibril melanjutkan, "sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang ada di tempat bertemunya dua lautan, yang lebih pintar dari dirimu."
Musa a.s. segera tersadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dengan mengaku paling pintar dan luas ilmunya. Padahal, ilmu Allah itu Maha luas dan Dia berkehendak untuk memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
la pun tertarik untuk menemui hamba Allah tersebut untuk belajar darinya. Satu-satunya petunjuk tentang keberadaan hamba Allah tersebut adalah di pertemuan dua buah lautan tempat ikan yang ia bawa akan hidup kembali dan melompat di daerah itu.
"Tidak ada," jawab Musa a.s.
Mengetahui hal itu, Allah hendak menegurnya melalui Malaikat Jibril yang datang kepada Musa a.s untuk bertanya, "Wahai Musa, tahukah engkau di mana Allah meletakkan ilmunya?"
Jibril melanjutkan, "sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang ada di tempat bertemunya dua lautan, yang lebih pintar dari dirimu."
Musa a.s. segera tersadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dengan mengaku paling pintar dan luas ilmunya. Padahal, ilmu Allah itu Maha luas dan Dia berkehendak untuk memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
la pun tertarik untuk menemui hamba Allah tersebut untuk belajar darinya. Satu-satunya petunjuk tentang keberadaan hamba Allah tersebut adalah di pertemuan dua buah lautan tempat ikan yang ia bawa akan hidup kembali dan melompat di daerah itu.
Suatu hari Iblis datang menemui Nabi Isa a.s. dan bertanya, "Bukankah kamu meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirimu telah ditetapkan Allah?"
"Benar," jawab Isa a.s.
Lantas Iblis berkata,"Kalau begitu, jatuhkanlah dirimu dari atas gunung ini. Sebab jika Allah menakdirkanmu selamat, pastilah engkau selamat!"
Isa a.s. pun menjawab, "Wahai makhluk terlaknat! Sesungguhnya hanya Allah SWT yang berhak menguji hamba-hamba-Nya. Sementara itu, hamba-hamba-Nya tidak berhak sama sekali untuk menguji Tuhannya!"
"Benar," jawab Isa a.s.
Lantas Iblis berkata,"Kalau begitu, jatuhkanlah dirimu dari atas gunung ini. Sebab jika Allah menakdirkanmu selamat, pastilah engkau selamat!"
Isa a.s. pun menjawab, "Wahai makhluk terlaknat! Sesungguhnya hanya Allah SWT yang berhak menguji hamba-hamba-Nya. Sementara itu, hamba-hamba-Nya tidak berhak sama sekali untuk menguji Tuhannya!"
Penduduk Mekah merencanakan pemugaran Kakbah yang melibatkan empat kabilah terpandang dari bangsa Quraisy yang turut serta dalam proses pembangunan kembali Kakbah tersebut.
Begitu pula, Muhammad bersama yang lainnya mengangkut bebatuan granit biru guna menyusun bangunan Kakbah. Permasalahan muncul ketika pembangunan Kakbah selesai dan para kabilah saling berebut untuk mengembalikan Hajar Aswad, batu yang disucikan, ke tempat semula.
Setiap kabilah merasa berhak memperoleh kehormatan untuk meletakkan batu hitam tersebut. Perselisihan makin memanas hari demi hari hingga akhirnya tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan mereka, kecuali melalui peperangan.
Melihat situasi yang makin runyam, Abu Umayya bin Al-Mughirah dari Bani Makhzum segera melerai perselisihan yang makin menghebat tersebut. la adalah orang tertua di antara mereka yang dihormati dan disegani. la berkata, "Serahkanlah putusan kalian ini kepada orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah ini!"
Begitu pula, Muhammad bersama yang lainnya mengangkut bebatuan granit biru guna menyusun bangunan Kakbah. Permasalahan muncul ketika pembangunan Kakbah selesai dan para kabilah saling berebut untuk mengembalikan Hajar Aswad, batu yang disucikan, ke tempat semula.
Setiap kabilah merasa berhak memperoleh kehormatan untuk meletakkan batu hitam tersebut. Perselisihan makin memanas hari demi hari hingga akhirnya tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan mereka, kecuali melalui peperangan.
Melihat situasi yang makin runyam, Abu Umayya bin Al-Mughirah dari Bani Makhzum segera melerai perselisihan yang makin menghebat tersebut. la adalah orang tertua di antara mereka yang dihormati dan disegani. la berkata, "Serahkanlah putusan kalian ini kepada orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah ini!"
Ketika pasukan Islam dan pasukan Quraisy sedang mempersiapkan diri untuk pertempuran di Badar, Rasulullah saw. mencari informasi dari dua orang pemuda penyedia air minum pasukan Quraisy tentang kondisi pasukan mereka.
Rasulullah saw. bertanya tentang lokasi perkemahan tentara Ouraisy. Mereka menjawab, "Mereka berada di balik bukit pasir ini, di bibir lembah yang paling ujung."
Kemudian Rasulullah saw. menanyakan tentang jumlah pasukan Quraisy. Kedua pemuda itu tampak kebingungan. Para sahabat dibuat tidak sabar oleh sikap kedua orang tersebut yang tidak segera menjawab pertanyaan Rasulullah.
Meskipun didesak sedemikian rupa, tetap saja mereka tidak bisa menjawabnya kecuali dengan kalimat, "Kami tidak tahu, sungguh!"
Akhirnya, Rasulullah saw. mengganti pertanyaannya seraya berkata kepada kedua pemuda itu, "Berapakah jumlah unta dan kambing yang mereka sembelih setiap harinya?"
Rasulullah saw. bertanya tentang lokasi perkemahan tentara Ouraisy. Mereka menjawab, "Mereka berada di balik bukit pasir ini, di bibir lembah yang paling ujung."
Kemudian Rasulullah saw. menanyakan tentang jumlah pasukan Quraisy. Kedua pemuda itu tampak kebingungan. Para sahabat dibuat tidak sabar oleh sikap kedua orang tersebut yang tidak segera menjawab pertanyaan Rasulullah.
Meskipun didesak sedemikian rupa, tetap saja mereka tidak bisa menjawabnya kecuali dengan kalimat, "Kami tidak tahu, sungguh!"
Akhirnya, Rasulullah saw. mengganti pertanyaannya seraya berkata kepada kedua pemuda itu, "Berapakah jumlah unta dan kambing yang mereka sembelih setiap harinya?"
Rasulullah saw. dan kaum muslimin di Medinah rindu untuk berhaji ke tanah Mekah sekaligus menapaki kampung halaman tercinta yang lama telah mereka tinggalkan. Namun, kaum musyrikin Quraisy tidak serta-merta mengizinkan kaum muslimin untuk masuk ke tanah mereka.
Bagaimanapun itu akan merendahkan harga diri kaum Quraisy yang dianggap telah tunduk kepada kaum muslimin jika membiarkan mereka masuk ke kota Mekah.
Untuk menghindari bentrokan antara kedua belah pihak-sebenarnya mereka juga sudah bosan dengan peperangan yang terjadi serta menelan banyak korban harta dan jiwa-akhirnya disepakati sebuah perjanjian gencatan senjata yang dinamakan Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam perjanjian itu ada pasal yang meresahkan kaum muslimin, yaitu barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan.
Bagaimanapun itu akan merendahkan harga diri kaum Quraisy yang dianggap telah tunduk kepada kaum muslimin jika membiarkan mereka masuk ke kota Mekah.
Untuk menghindari bentrokan antara kedua belah pihak-sebenarnya mereka juga sudah bosan dengan peperangan yang terjadi serta menelan banyak korban harta dan jiwa-akhirnya disepakati sebuah perjanjian gencatan senjata yang dinamakan Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam perjanjian itu ada pasal yang meresahkan kaum muslimin, yaitu barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan.
Ubay bin Ka'ab r.a. adalah salah seorang sahabat Nabi yang terkenal dan ahli dalam membaca kitab suci Al-Our'an. la juga senantiasa menulis wahyu yang diajarkan Rasulullah saw. Di samping kemampuannya menghafal Al-Qur'an, ia juga memiliki pengetahuan tentang kitab suci umat Islam tersebut.
Rasulullah saw. berkata tentangnya, "Ubay bin Ka'ab adalah seorang qari' (pembaca Al-Qur'an) yang paling baik di kalangan umatku!"
Ubay bin Ka'ab r.a. pernah membaca seluruh Al-Qur'an dalam shalat Tahajud selama delapan malam berturut-turut.
Suatu saat Rasulullah berkata kepadanya, "Allah SWT telah memerintahkan kepadaku supaya membacakan seluruh isi Al-Qur'an kepadamu."
Ubay r.a berkata, "Wahai Rasulullah. Adakah Allah telah menyebutku dengan memanggil namaku?"
Rasulullah saw. berkata tentangnya, "Ubay bin Ka'ab adalah seorang qari' (pembaca Al-Qur'an) yang paling baik di kalangan umatku!"
Ubay bin Ka'ab r.a. pernah membaca seluruh Al-Qur'an dalam shalat Tahajud selama delapan malam berturut-turut.
Suatu saat Rasulullah berkata kepadanya, "Allah SWT telah memerintahkan kepadaku supaya membacakan seluruh isi Al-Qur'an kepadamu."
Ubay r.a berkata, "Wahai Rasulullah. Adakah Allah telah menyebutku dengan memanggil namaku?"
Pada suatu hari Rasulullah saw. keluar untuk buang air. Ketika beliau selesai beristinjak, beliau mendapati sebuah panci yang sudah penuh berisi air di luar tempat beliau beristinjak. Lalu, beliau bertanya, "Siapakah yang telah menaruhnya di sini?"
"Ibnu Abbas telah menaruhnya," jawab para sahabat.
Rasulullah saw. sangat senang dengan pelayanan Ibnu Abbas r.a. kepadanya. Kemudian beliau mendoakannya, "Ya Allah, berikanlah kepadanya kepahaman agama dan Al-Qur'an."
Pada suatu ketika Rasulullah saw. sedang mendirikan shalat sunnah dan Ibnu Abbas r.a. mengikutinya di belakang. Lalu, Nabi saw. menarik tangannya sehingga ia berdiri tepat di samping kanan Rasulullah saw. Sebagaimana tata cara shalat berjemaah dengan satu makmum: posisi makmum tepat berada sejajar disamping kanan imam. Akan tetapi, Ibnu Abbas r.a. malah kembali mundur ke belakang dan shalat di belakang beliau.
Seusai shalat, Rasulullah saw. bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., "Mengapa kamu mundur ke belakang?"
"Ibnu Abbas telah menaruhnya," jawab para sahabat.
Rasulullah saw. sangat senang dengan pelayanan Ibnu Abbas r.a. kepadanya. Kemudian beliau mendoakannya, "Ya Allah, berikanlah kepadanya kepahaman agama dan Al-Qur'an."
Pada suatu ketika Rasulullah saw. sedang mendirikan shalat sunnah dan Ibnu Abbas r.a. mengikutinya di belakang. Lalu, Nabi saw. menarik tangannya sehingga ia berdiri tepat di samping kanan Rasulullah saw. Sebagaimana tata cara shalat berjemaah dengan satu makmum: posisi makmum tepat berada sejajar disamping kanan imam. Akan tetapi, Ibnu Abbas r.a. malah kembali mundur ke belakang dan shalat di belakang beliau.
Seusai shalat, Rasulullah saw. bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., "Mengapa kamu mundur ke belakang?"
Dikisahkan bahwa Al-Makmun memisahkan diri dari pasukannya, lalu berjalan melewati salah satu perkam-pungan Arab. la melihat seorang bocah sedang berdiri mengisi girbah (tempat air) sambil memanggil ayahnya untuk minta bantuan agar dapat menguasai pegangan girbahnya.
Bahasa yang digunakan anak itu begitu santun dan baik layaknya orang dewasa sehingga menarik perhatian Khalifah Al-Makmun. la pun bertanya kepada anak itu, "Siapakah engkau? Semoga Allah memberkatimu."
Anak itu menyebutkan namanya dan balik bertanya, "Dan siapakah engkau?"
Al-Makmun menjawab, "Keturunan Adam."
"Memang benar keturunan Adam, tetapi keturunan Adam yang mana?" tanya anak itu kembali.
"Yang pilihan dan terbaik di antara mereka," jawabnya.
"Oh, berarti engkau orang Arab. Dari silsilah siapa?" tanya anak itu penasaran.
"Yang pilihan dan terbaik di antara mereka," jawab Al-Makmun untuk menguji pengetahuan anak itu lebih jauh.
Bahasa yang digunakan anak itu begitu santun dan baik layaknya orang dewasa sehingga menarik perhatian Khalifah Al-Makmun. la pun bertanya kepada anak itu, "Siapakah engkau? Semoga Allah memberkatimu."
Anak itu menyebutkan namanya dan balik bertanya, "Dan siapakah engkau?"
Al-Makmun menjawab, "Keturunan Adam."
"Memang benar keturunan Adam, tetapi keturunan Adam yang mana?" tanya anak itu kembali.
"Yang pilihan dan terbaik di antara mereka," jawabnya.
"Oh, berarti engkau orang Arab. Dari silsilah siapa?" tanya anak itu penasaran.
"Yang pilihan dan terbaik di antara mereka," jawab Al-Makmun untuk menguji pengetahuan anak itu lebih jauh.
Dalam kitab Muntakhab Kanzul Ummai, Abu Abdurrahman r.a. berkata, "Jika para sahabat mengajarkan Al-Qur'an kepada kami, mereka berkata, 'Kami belajar Al-Qur'an dari Rasulullah saw. sebanyak 10 ayat dan kami tidak akan meminta Nabi saw. untuk mengajarkan ayat berikutnya sebelum 10 ayat tadi sesuai dengan antara ilmu dan amalnya."
Ulama hadis terkemuka Bukhari r.a berkata, "Al ilmu qoblal qouli wal amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat)." Perkataan ini merupakan kesimpulan yang ia ambil dari firman Allah Ta'ala, "Maka Ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu ...." (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam kitab Fathut Bari, Ibnul Munir berkata, "Yang dimaksudkan oleh Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan, yaitu suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan."
Ulama hadis terkemuka Bukhari r.a berkata, "Al ilmu qoblal qouli wal amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat)." Perkataan ini merupakan kesimpulan yang ia ambil dari firman Allah Ta'ala, "Maka Ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu ...." (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam kitab Fathut Bari, Ibnul Munir berkata, "Yang dimaksudkan oleh Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan, yaitu suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan."
Ahmad bin Jamil Al-Marwazi menuturkan, Ibnu Al-Mubarak r.a. diberi tahu bahwa Ismail bin Ghalabah r.a. telah diangkat menjadi pejabat urusan sedekah. Lalu, Ibnu Al-Mubarak r.a. menulis surat kepadanya.
"Hai orang yang membuat Ilmu menjadi elang, yang menyambar harta orang-orang miskin.
Engkau menyiasati dunia dan kenikmatan, dengan dalih yang menyirnakan ad-din.
Karenanya, engkau telah menjadi kegilaan, padahal sebelumnya engkau adalah penyembuh bagi orang-orang sinting.
Di manakah ilmu yang engkau dapatkan, dari Ibnu Aun dan Ibnu Sirin?
Di manakah petuahmu yang dulu engkau keluarkan, tentang mendekati pintu para pemimpin?
Jika ini sebuah keterpaksaan, demikian pula keledai pembawa Ilmu yang terperosok dalam lumpur yang licin."
"Hai orang yang membuat Ilmu menjadi elang, yang menyambar harta orang-orang miskin.
Engkau menyiasati dunia dan kenikmatan, dengan dalih yang menyirnakan ad-din.
Karenanya, engkau telah menjadi kegilaan, padahal sebelumnya engkau adalah penyembuh bagi orang-orang sinting.
Di manakah ilmu yang engkau dapatkan, dari Ibnu Aun dan Ibnu Sirin?
Di manakah petuahmu yang dulu engkau keluarkan, tentang mendekati pintu para pemimpin?
Jika ini sebuah keterpaksaan, demikian pula keledai pembawa Ilmu yang terperosok dalam lumpur yang licin."
Salah seorang khalifah Dinasti Umayah, Sulaiman bin Abdul Malik r.a., merasakan hidup serba berkecukupan sejak kecil hingga menduduki jabatan tertinggi di negaranya. Ternyata ia menyimpan kegelisahan yang senantiasa mengganggu pikiran dan benaknya.
Oleh sebab itu, untuk menemukan jawaban atas kegelisahannya, ia bermaksud pergi dari istananya di Damaskus menuju Medinah untuk mencari sahabat Nabi saw. yang masih hidup untuk dijadikan narasumber nasihat rohani.
Sudah tiga hari mencari ke seluruh penjuru kota, tidak seorang pun dari generasi sahabat yang masih hidup. Kemudian khalifah mencari ulama generasi tabiin dan bertemulah dengan Abu Hazim r.a.
Khalifah mengungkapkan kepada Abu Hazim apa yang menjadi kegelisahannya selama ini, seraya berkata, "Aku heran, mengapa orang-orang tampak begitu betah di dunia, sementara pesona dunia hanyalah semu belaka?"
Oleh sebab itu, untuk menemukan jawaban atas kegelisahannya, ia bermaksud pergi dari istananya di Damaskus menuju Medinah untuk mencari sahabat Nabi saw. yang masih hidup untuk dijadikan narasumber nasihat rohani.
Sudah tiga hari mencari ke seluruh penjuru kota, tidak seorang pun dari generasi sahabat yang masih hidup. Kemudian khalifah mencari ulama generasi tabiin dan bertemulah dengan Abu Hazim r.a.
Khalifah mengungkapkan kepada Abu Hazim apa yang menjadi kegelisahannya selama ini, seraya berkata, "Aku heran, mengapa orang-orang tampak begitu betah di dunia, sementara pesona dunia hanyalah semu belaka?"
Seorang lelaki yang sedang sibuk menggembalakan domba-dombanya di padang rumput dihampiri oleh seorang cendekiawan. Terjadilah perbincangan di antara keduanya. Kemudian cendekiawan itu mengetahui bahwa ternyata penggembala itu buta huruf alias tidak bisa membaca.
"Mengapa engkau tidak belajar?" tanya cendekiawan.
"Aku telah mendapatkan sari semua ilmu. Jadi, aku tidak perlu belajar lagi," jawab penggembala mantap.
"Coba jelaskan pelajaran apa yang telah kamu peroleh?" pinta sang cendekiawan. .
"Sari semua ilmu pengetahuan ada lima. Pertama, selagi masih ada peluang untuk bersikap jujur, aku tidak akan pernah berbohong. Kedua, selama masih ada makanan halal, aku tidakakan pernah memakan makanan haram. Ketiga, jika masih ada cela (kekurangan) dalam diriku, aku tidak akan pernah mencari-cari keburukan orang lain. Keempat, selagi rezeki Allah masih ada di bumi, aku tidak akan memintanya kepada orang lain. Kelima, sebelum menginjakkan kaki di surga, aku tidak akan pernah melupakan tipu daya setan," jelasnya panjang lebar.
"Mengapa engkau tidak belajar?" tanya cendekiawan.
"Aku telah mendapatkan sari semua ilmu. Jadi, aku tidak perlu belajar lagi," jawab penggembala mantap.
"Coba jelaskan pelajaran apa yang telah kamu peroleh?" pinta sang cendekiawan. .
"Sari semua ilmu pengetahuan ada lima. Pertama, selagi masih ada peluang untuk bersikap jujur, aku tidak akan pernah berbohong. Kedua, selama masih ada makanan halal, aku tidakakan pernah memakan makanan haram. Ketiga, jika masih ada cela (kekurangan) dalam diriku, aku tidak akan pernah mencari-cari keburukan orang lain. Keempat, selagi rezeki Allah masih ada di bumi, aku tidak akan memintanya kepada orang lain. Kelima, sebelum menginjakkan kaki di surga, aku tidak akan pernah melupakan tipu daya setan," jelasnya panjang lebar.
Suatu ketika Ibnu Haitsam r.a. didatangi oleh salah seorang anak pejabat tinggi Simnan yang memintanya agar memberikan pelajaran untuknya. la pun menyanggupinya dengan syarat ia diberi upah seratus dinar setiap bulannya. Anak pejabat itu menyetujuinya, kemudian ia tinggal bersamanya selama tiga tahun untuk belajar.
Ketika masa belajar yang disepakati telah berakhir, putra pejabat tinggi itu mohon izin untuk kembali ke rumahnya. Tiba-tiba Ibnu Haitsam r.a. memberikan sejumlah uang kepadanya seraya berkata, "Ambillah semua uangmu ini. Aku tidak memerlukannya. Aku hanya ingin menguji kesungguhanmu dengan permintaan upah itu. Ketika aku melihat kamu rela mengeluarkan uang banyak untuk menuntut ilmu, aku pun berusaha keras untuk mengajari dan membimbingmu."
Ketika masa belajar yang disepakati telah berakhir, putra pejabat tinggi itu mohon izin untuk kembali ke rumahnya. Tiba-tiba Ibnu Haitsam r.a. memberikan sejumlah uang kepadanya seraya berkata, "Ambillah semua uangmu ini. Aku tidak memerlukannya. Aku hanya ingin menguji kesungguhanmu dengan permintaan upah itu. Ketika aku melihat kamu rela mengeluarkan uang banyak untuk menuntut ilmu, aku pun berusaha keras untuk mengajari dan membimbingmu."
Abdullah bin Mubarak r.a. menuturkan bahwa ketika pergi haji ke Baitullah Al-Haram dan berziarah ke masjid Nabi saw, ia berjumpa dengan seorang perempuan tua memakai kerudung wol.
Ibnu Mubarak r.a. menyapanya, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Perempuan tua itu menjawab, "Salam, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang." (QS. Yasin [36]: 58)
Ibnu Mubarak r.a. berkata, "Semoga Allah merahmati engkau. Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
Perempuan tua itu menjawab, "Barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah maka tidak ada yang mampu memberi petunjuk ...." (QS. Al-A'raf [7]: 186)
Mendengar jawabannya, Ibnu Mubarak r.a. mengerti bahwa perempuan itu tersesat di jalan. Lalu, ia pun bertanya, "Ke mana engkau hendak pergi?"
Ibnu Mubarak r.a. menyapanya, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Perempuan tua itu menjawab, "Salam, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang." (QS. Yasin [36]: 58)
Ibnu Mubarak r.a. berkata, "Semoga Allah merahmati engkau. Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
Perempuan tua itu menjawab, "Barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah maka tidak ada yang mampu memberi petunjuk ...." (QS. Al-A'raf [7]: 186)
Mendengar jawabannya, Ibnu Mubarak r.a. mengerti bahwa perempuan itu tersesat di jalan. Lalu, ia pun bertanya, "Ke mana engkau hendak pergi?"
Salah seorang pemimpin pasukan Persia yang bernama Hurmuzan berhasil ditawan oleh pasukan muslimin. Kemudian ia dibawa menghadap Khalifah Umar bin Khaththab r.a. Umar r.a pun mengajaknya untuk memeluk Islam dengan berkata, "Aku tawarkan Islam kepada Anda sebagai nasihat untuk kebaikan dunia dan akhirat."
Namun, tawaran itu ditolaknya mentah-mentah dengan menyatakan bahwa ia masih tetap dengan keyakinannya dan tidak akan masuk Islam meskipun ia diancam, bahkan dengan hukuman mati sekalipun. Akhirnya, Umar r.a. pun memberi perintah agar ia dihukum mati.
Ketika hukuman mati itu hendak dilaksanakan, Umar mengizinkan Hurmuzan untuk menyampaikan keinginan terakhirnya. Hurmuzan pun berkata, "Wahai Amirul Mukminin, seteguk air untukku lebih baik daripada aku mati dalam keadaan haus." Kemudian diberikannya segelas air kepadanya.
Pada saat Hurmuzan memegang segelas air di tangannya, iabertanya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah aku diberi kesempatan hidup hingga aku meminumnya?"
Namun, tawaran itu ditolaknya mentah-mentah dengan menyatakan bahwa ia masih tetap dengan keyakinannya dan tidak akan masuk Islam meskipun ia diancam, bahkan dengan hukuman mati sekalipun. Akhirnya, Umar r.a. pun memberi perintah agar ia dihukum mati.
Ketika hukuman mati itu hendak dilaksanakan, Umar mengizinkan Hurmuzan untuk menyampaikan keinginan terakhirnya. Hurmuzan pun berkata, "Wahai Amirul Mukminin, seteguk air untukku lebih baik daripada aku mati dalam keadaan haus." Kemudian diberikannya segelas air kepadanya.
Pada saat Hurmuzan memegang segelas air di tangannya, iabertanya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah aku diberi kesempatan hidup hingga aku meminumnya?"
Suatu hari Khalifah Harun Ar-Rasyid menyamar sebagai orang awam didampingi oleh Yahya bin Khalid, Khalid sang sekretaris, Ishak bin Ibrahim Al-Maushili, dan Abu Nuwas yang sama-sama berpakaian seperti orang biasa.
Mereka menaiki perahu penyeberangan bersama-sama. Kemudian seorang awam asing ikut menyeberang dan bergabung dengan mereka di dalam perahu penyeberangan itu.
Harun Ar-Rasyid merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang tersebut. la pun berniat untuk mengusirnya dari dalam perahu. Lalu, Abu Nawas berkata, "Akulah yang akan mengeluarkannya tanpa membuat dia tersinggung."
Abu Nuwas kemudian berdiri seraya berkata keras kepada semua penumpang yang hadir di situ, "Aku yang menanggung makan kalian hari ini hingga minggu depan!"
Mereka menaiki perahu penyeberangan bersama-sama. Kemudian seorang awam asing ikut menyeberang dan bergabung dengan mereka di dalam perahu penyeberangan itu.
Harun Ar-Rasyid merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang tersebut. la pun berniat untuk mengusirnya dari dalam perahu. Lalu, Abu Nawas berkata, "Akulah yang akan mengeluarkannya tanpa membuat dia tersinggung."
Abu Nuwas kemudian berdiri seraya berkata keras kepada semua penumpang yang hadir di situ, "Aku yang menanggung makan kalian hari ini hingga minggu depan!"
Suatu ketika Kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah r.a,
"Salam sejahtera kami sampaikan kepada Anda. Kami mohon kiranya Anda memberitahukan kepada kami apa ucapan yang paling disenang oleh Tuhan Allah, kedua, ketiga, keempat, dan kelima?
Siapa hamba yang paling mulia dan wanita yang paling mulia bagi-Nya?
Apa empat perkara yang di dalamnya terdapat roh, tetapi tidak bersemayam dalam rahim?
Kubur manakah yang berjalan sambil membawa penghuni kuburnya?"
Muawiyah r.a. dibuat pusing tujuh keliling dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. la tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Bahkan, karena jengkelnya kemudian ia berkata, "Ya Allah, laknatlah dia! Aku tidak tahu apa jawabannya!"
Meskipun demikian, Muawiyah juga tetap berpikir dan mencari jalan keluarnya. Barangkali ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Kaisar Romawi itu.
"Salam sejahtera kami sampaikan kepada Anda. Kami mohon kiranya Anda memberitahukan kepada kami apa ucapan yang paling disenang oleh Tuhan Allah, kedua, ketiga, keempat, dan kelima?
Siapa hamba yang paling mulia dan wanita yang paling mulia bagi-Nya?
Apa empat perkara yang di dalamnya terdapat roh, tetapi tidak bersemayam dalam rahim?
Kubur manakah yang berjalan sambil membawa penghuni kuburnya?"
Muawiyah r.a. dibuat pusing tujuh keliling dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. la tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Bahkan, karena jengkelnya kemudian ia berkata, "Ya Allah, laknatlah dia! Aku tidak tahu apa jawabannya!"
Meskipun demikian, Muawiyah juga tetap berpikir dan mencari jalan keluarnya. Barangkali ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Kaisar Romawi itu.
Sosoknya rupawan dan pemberani. Pada usianya yang sangat belia ia sudah menunjukkan kedewasaan berpikirnya. Misalnya, ketika Rasulullah saw. turun dari Gua Hira untuk kali kedua dan menerima lima ayat pertama Surat Al-Muddatstsir, saat itu Ali bin Abi Thalib datang menemuinya.
Rasulullah saw segera mengajaknya untuk beriman kepada Allah Yang Esa, mengagungkan-Nya, menghindari penyembahan berhala, serta menyucikan diri, pakaian, dan perbuatan dari segala kotoran dan dosa.
Ali bin Abi Thalib langsung tertarik dengan ajakan kebenaran yang dibawa sepupunya ini. Padahal, saat itu ia baru berusia sepuluh tahun. Ali berkata, "Baiklah, aku akan meminta izin ayahku dulu".
Rasulullah saw mengangguk dan mempersilakan.
Namun, hanya selang beberapa detik Ali kembali kepada Rasulullah saw., "Cepat sekali engkau menemui ayahmu, wahai Ali!" tanya Rasulullah.
Rasulullah saw segera mengajaknya untuk beriman kepada Allah Yang Esa, mengagungkan-Nya, menghindari penyembahan berhala, serta menyucikan diri, pakaian, dan perbuatan dari segala kotoran dan dosa.
Ali bin Abi Thalib langsung tertarik dengan ajakan kebenaran yang dibawa sepupunya ini. Padahal, saat itu ia baru berusia sepuluh tahun. Ali berkata, "Baiklah, aku akan meminta izin ayahku dulu".
Rasulullah saw mengangguk dan mempersilakan.
Namun, hanya selang beberapa detik Ali kembali kepada Rasulullah saw., "Cepat sekali engkau menemui ayahmu, wahai Ali!" tanya Rasulullah.
Katsir bin Qais r.a meriwayatkan, "Ketika aku sedang duduk bersama Abu Darda r.a dalam sebuah masjid di Damsyik, seorang laki-laki menghampirinya seraya berkata, 'Wahai Abu Darda', aku datang dari Medinah untuk mempelajari satu hadis darimu karena aku diberi tahu bahwa engkau adalah orang yang mendengar langsung dari Rasulullah saw.'
Abu Darda r.a. bertanya, 'Apakah kamu mempunyai tujuan lain ke Damsyik?'
'Tidak,' jawab orang tersebut.
Abu Darda r.a. kembali bertanya, 'Apa kamu yakin tidak mempunyai tujuan lain selain itu untuk pergi ke Damsyik?'
'Aku datang ke tempat ini semata-mata untuk mempelajari hadis ini,' jawabnya.
Abu Darda r.a. bertanya, 'Apakah kamu mempunyai tujuan lain ke Damsyik?'
'Tidak,' jawab orang tersebut.
Abu Darda r.a. kembali bertanya, 'Apa kamu yakin tidak mempunyai tujuan lain selain itu untuk pergi ke Damsyik?'
'Aku datang ke tempat ini semata-mata untuk mempelajari hadis ini,' jawabnya.
Abdullah bin Abbas r.a atau yang dikenal dengan nama Ibnu Abbas r.a berkata, "Setelah Rasulullah saw wafat, aku berkata kepada temanku dari kaum Anshar, 'Sekarang Rasulullah telah wafat, di antara kita masih banyak sahabat yang masih hidup. Marilah kita temui mereka untuk menanyakan tentang ajaran Islam dan kita hafalkan.'
Teman Ansharku berkata, 'Bukankah orang-orang selalu datang kepadamu untuk bertanya tentang agama walaupun para sahabat tersebut masih hidup?'
Saya menjawab, 'Karena itulah, meskipun jemaah para sahabat yang besar masih ada, orang-orang sudah tidak memiliki perhatian penuh kepada mereka dan tidak mempunyai lagi semangat ke arah itu.'
Kemudian saya mulai mencari-cari ilmu agama, saya mendatangi setiap orang yang saya duga telah mendengar sesuatu dari Rasulullah saw. dan menelitinya sampai akhirnya aku berhasil memperoleh sejumlah besar hadis-hadis dari kaum Anshar.
Teman Ansharku berkata, 'Bukankah orang-orang selalu datang kepadamu untuk bertanya tentang agama walaupun para sahabat tersebut masih hidup?'
Saya menjawab, 'Karena itulah, meskipun jemaah para sahabat yang besar masih ada, orang-orang sudah tidak memiliki perhatian penuh kepada mereka dan tidak mempunyai lagi semangat ke arah itu.'
Kemudian saya mulai mencari-cari ilmu agama, saya mendatangi setiap orang yang saya duga telah mendengar sesuatu dari Rasulullah saw. dan menelitinya sampai akhirnya aku berhasil memperoleh sejumlah besar hadis-hadis dari kaum Anshar.
Amr bin Salamah r.a. bercerita, "Kami tinggal di suatu tempat di salah satu jalan menuju Medinah yang banyak dilalui orang-orang. Jika ada orang yang kembali dari Medinah, saya akan bertanya tentang keadaan orang-orang di sana.
Demikian juga, orang yang mengaku Nabi. Lalu, orang-orang itu menjelaskan bahwa Nabi itu bersabda, 'Wahyu llahi telah turun kepadaku. Ayat-ayat inilah yang diturunkan oleh-Nya'. Ketika itu saya masih kecil, tetapi selalu mengingat setiap perkataan mereka. Saya pun menghafalkan ayat-ayat tersebut. Jadilah saya banyak menghafal ayat-ayat Al-Qur'an walaupun belum memeluk Islam.
Orang-orang Arab yang akan masuk Islam biasanya menunggu dahulu orang-orang Mekah masuk Islam. Setelah peristiwa Fathu Mekah, barulah semua orang berbondong-bondong masuk Islam.
Ayah dan beberapa kaumku pun menghadiri majelis Rasulullah saw. Kemudian beliau mengajarkan syariat Islam, tata cara shalat, dan cara-cara shalat berjemaah. Beliau bersabda, 'Orang yang paling pantas menjadi imam adalah orang yang paling banyak menghafal Al-Qur'an.' Ketika itu sayalah yang paling banyak hafalan Al-Qur'an karena saya selalu menghafal ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikan orang-orang sekembalinya dari Medinah.
Demikian juga, orang yang mengaku Nabi. Lalu, orang-orang itu menjelaskan bahwa Nabi itu bersabda, 'Wahyu llahi telah turun kepadaku. Ayat-ayat inilah yang diturunkan oleh-Nya'. Ketika itu saya masih kecil, tetapi selalu mengingat setiap perkataan mereka. Saya pun menghafalkan ayat-ayat tersebut. Jadilah saya banyak menghafal ayat-ayat Al-Qur'an walaupun belum memeluk Islam.
Orang-orang Arab yang akan masuk Islam biasanya menunggu dahulu orang-orang Mekah masuk Islam. Setelah peristiwa Fathu Mekah, barulah semua orang berbondong-bondong masuk Islam.
Ayah dan beberapa kaumku pun menghadiri majelis Rasulullah saw. Kemudian beliau mengajarkan syariat Islam, tata cara shalat, dan cara-cara shalat berjemaah. Beliau bersabda, 'Orang yang paling pantas menjadi imam adalah orang yang paling banyak menghafal Al-Qur'an.' Ketika itu sayalah yang paling banyak hafalan Al-Qur'an karena saya selalu menghafal ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikan orang-orang sekembalinya dari Medinah.
Abdullah bin Amr bin 'Ash r.a. adalah seorang sahabat yang zuhud dan ahli ibadah. Beliau selalu berpuasa pada siang hari, melaksanakan shalat Tahajud semalam suntuk, dan mengkhatamkan Al-Qur'an setiap hari. la sangat rajin beribadah.
Rasulullah saw. pernah menasihatinya dengan bersabda, "Jika engkau terus melakukan hal ini, badanmu akan lemah dan matamu akan sakit karena tidak tidur semalam suntuk. Badanmu punya hak, keluarga juga punya hak, dan para tamu pun ada haknya."
Rasulullah saw. juga menyarankan agar ia mengkhatamkan Al-Qur'an cukup satu kali dalam sebulan. Namun, Abdullah bin Amr r.a. keberatan dengan keputusan Rasulullah saw. tersebut. la pun berkata, "Wahai Rasulullah, izinkanlah saya menggunakan sepenuh tenaga saya untuk beribadah kepada Allah."
Rasulullah saw. pun memberi saran agar ia mengkhatamkan Al-Qur'an dua puluh hari sekali. Namun, jumlah tersebut masih terlalu lama bagi Abdullah bin Amr r.a. la pun kembali membujuk Rasulullah saw. hingga akhirnya beliau mengizinkannya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an tiap tiga hari sekali.
Rasulullah saw. pernah menasihatinya dengan bersabda, "Jika engkau terus melakukan hal ini, badanmu akan lemah dan matamu akan sakit karena tidak tidur semalam suntuk. Badanmu punya hak, keluarga juga punya hak, dan para tamu pun ada haknya."
Rasulullah saw. juga menyarankan agar ia mengkhatamkan Al-Qur'an cukup satu kali dalam sebulan. Namun, Abdullah bin Amr r.a. keberatan dengan keputusan Rasulullah saw. tersebut. la pun berkata, "Wahai Rasulullah, izinkanlah saya menggunakan sepenuh tenaga saya untuk beribadah kepada Allah."
Rasulullah saw. pun memberi saran agar ia mengkhatamkan Al-Qur'an dua puluh hari sekali. Namun, jumlah tersebut masih terlalu lama bagi Abdullah bin Amr r.a. la pun kembali membujuk Rasulullah saw. hingga akhirnya beliau mengizinkannya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an tiap tiga hari sekali.
Mu'adz bin Jabal r.a. adalah seorang sahabat Nabi saw. yang terkenal cerdas. Otaknya cemerlang, manis tutur katanya, dan ia termasuk salah satu dari enam sahabat Nabi yang hafal Al-Qur'an saat itu. Dalam majelis, ia tidak memulai pembicaraan, kecuali ada yang bertanya. Ketika berbicara, dari lisannya seolah muncul cahaya dan mutiara.
Rasulullah saw pernah mengutusnya ke Yaman sebagai hakim dan guru bagi penduduk setempat. Beliau mengatakan dalam sepucuk surat yang dibawa Mu'adz r.a., "Aku utus kepada kalian orang terbaik dari keluargaku."
Sebelum Mu'adz r.a. berangkat ke Yaman dalam rangka melaksanakan tugas hakim di sana, Rasulullah saw. bertanya, "Dengan dasar apa kamu memutuskan perkara, wahai Mu'adz?"
Mu'adz r.a. menjawab, "Dengan Kitab Allah (Al-Qur'an)."
"Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?" tanya Rasulullah saw.
"Aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah," jawab Mu'adz.
Beliau bertanya lagi, "Jika tidak kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah?"
Rasulullah saw pernah mengutusnya ke Yaman sebagai hakim dan guru bagi penduduk setempat. Beliau mengatakan dalam sepucuk surat yang dibawa Mu'adz r.a., "Aku utus kepada kalian orang terbaik dari keluargaku."
Sebelum Mu'adz r.a. berangkat ke Yaman dalam rangka melaksanakan tugas hakim di sana, Rasulullah saw. bertanya, "Dengan dasar apa kamu memutuskan perkara, wahai Mu'adz?"
Mu'adz r.a. menjawab, "Dengan Kitab Allah (Al-Qur'an)."
"Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?" tanya Rasulullah saw.
"Aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah," jawab Mu'adz.
Beliau bertanya lagi, "Jika tidak kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah?"
Salman Al-Farisi mengisahkan tentang dirinya:
"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama "Ji". Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api, yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarakannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah. Pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, kemudian aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang dan kataku dalam hati, 'lni lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!'
Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam sehingga membatalkan untuk pergi ke tanah milik bapakku dan tidak kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku. Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal usul agama mereka. 'Dari Syiria', ujar mereka.
Ketika aku berhadapan dengan bapakku, kukatakan kepadanya, 'Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.'
"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama "Ji". Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api, yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarakannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah. Pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, kemudian aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang dan kataku dalam hati, 'lni lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!'
Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam sehingga membatalkan untuk pergi ke tanah milik bapakku dan tidak kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku. Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal usul agama mereka. 'Dari Syiria', ujar mereka.
Ketika aku berhadapan dengan bapakku, kukatakan kepadanya, 'Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.'
Al-Manshur bin Al-Mahdi r.a. dari keluarga Dinasti Abbasiyah bertanya kepada Khalifah Al-Makmun, "Apakah baik orang seperti aku mencari ilmu?"
la menjawab, "Meninggal dalam mencari ilmu lebih baik daripada hidup puas dengan kebodohan."
Al-Manshur r.a. bertanya lagi, "Sampai kapan itu baik bagiku?"
la menjawab, "Selama hidup itu baik bagimu."
Menuntut ilmu tidak terbatas oleh usia. Bahkan, Allah SWT menghendaki agar setiap mukmin senantiasa mencari ilmu dan berdoa agar diberi tambahan ilmu, sebagaimana firman-Nya, "...Dan katakanlah, 'YaTuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.'" (QS Thaha [20]: 114)
Rasulullah saw juga telah menganjurkan kepada umatnya untuk giat mencari ilmu hingga maut menjemput, sebagaimana sabda beliau, "Seorang mukmin tidak akan kenyang dari kebaikan yang dia dengar sampai tempat berakhirnya adalah jannah." (HR Turmudzi)
la menjawab, "Meninggal dalam mencari ilmu lebih baik daripada hidup puas dengan kebodohan."
Al-Manshur r.a. bertanya lagi, "Sampai kapan itu baik bagiku?"
la menjawab, "Selama hidup itu baik bagimu."
Menuntut ilmu tidak terbatas oleh usia. Bahkan, Allah SWT menghendaki agar setiap mukmin senantiasa mencari ilmu dan berdoa agar diberi tambahan ilmu, sebagaimana firman-Nya, "...Dan katakanlah, 'YaTuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.'" (QS Thaha [20]: 114)
Rasulullah saw juga telah menganjurkan kepada umatnya untuk giat mencari ilmu hingga maut menjemput, sebagaimana sabda beliau, "Seorang mukmin tidak akan kenyang dari kebaikan yang dia dengar sampai tempat berakhirnya adalah jannah." (HR Turmudzi)
Imam Ahmad pernah ditanya, "Mana yang lebih baik, mencari ilmu dengan cukup berguru kepada seorang ulama yang memiliki banyak ilmu atau dengan melakukan perjalanan untuk menemui banyak ulama dan menyerap ilmu dari mereka?"
la menjawab, "Dengan melakukan perjalanan dan mencatat dari para ulama yang tersebar di berbagai tempat."
Abu Yakub (251 H) salah seorang murid Imam Ahmad akhirnya rela berjalan dari Naisabur, Iran, menuju Bagdad, Irak. Meskipun akhirnya ia mendengar bahwa sang guru meralat pendapatnya, padahal Abu Yakub r.a. sudah menulis pendapat tersebut dalam kitabnya.
Tetapi, memang demikianlah niat para ulama terdahulu dalam mencari ilmu. la rela berjalan jauh meskipun harus ditempuh berhari-hari.
la menjawab, "Dengan melakukan perjalanan dan mencatat dari para ulama yang tersebar di berbagai tempat."
Abu Yakub (251 H) salah seorang murid Imam Ahmad akhirnya rela berjalan dari Naisabur, Iran, menuju Bagdad, Irak. Meskipun akhirnya ia mendengar bahwa sang guru meralat pendapatnya, padahal Abu Yakub r.a. sudah menulis pendapat tersebut dalam kitabnya.
Tetapi, memang demikianlah niat para ulama terdahulu dalam mencari ilmu. la rela berjalan jauh meskipun harus ditempuh berhari-hari.
Menuntut ilmu tidak akan ada habis-habisnya. Oleh karena itu, para ulama saleh tidak segan-segan mengorbankan apa pun yang ia miliki demi ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Ja'far Al-Qashri r.a. (321 H), seorang faqih yang wara'.
la menuturkan bahwa selama empat tahun penanya tidak pernah kering. la terus-menerus menyalin buku siang dan malam. Terkadang ia menjual sebagian pakaiannya untuk membeli buku atau kertas untuk menyalin kitab.
Suatu hari ia mengunjungi Yahya bin Umar r.a., salah satu gurunya. Di sana ia menemukan seribu buku, tetapi ia tidak memiliki uang untuk membeli riqq (kertas dari kulit) sehingga ia tidak bisa menyalinnya. Akhirnya, ia menjual pakaian yang melekat pada tubuhnya, lalu hasilnya ia belikan riqq.
Abu Bakar Ahmad Al-Barkani r.a. (425 H), salah satu ulama Bagdad, berkata, "Suatu saat aku memasuki Usfarayin dengan membawa tiga dinar dan satu dirham. Sayangnya, dinarku hilang sehingga hanya tersisa satu dirham (sekitar 12 ribu rupiah). Akhirnya, aku menyerahkannya kepada tukang roti dan aku mendapat jatah dua roti setiap hari. Lalu, aku mendengar hadis dari Bashir bin Ahmad dan menulisnya di masjid. Dalam sebulan aku bisa menulis sebanyak 30 juz dan pada saat itu juga jatah rotiku habis, akhirnya aku segera pulang ke negeriku."
la menuturkan bahwa selama empat tahun penanya tidak pernah kering. la terus-menerus menyalin buku siang dan malam. Terkadang ia menjual sebagian pakaiannya untuk membeli buku atau kertas untuk menyalin kitab.
Suatu hari ia mengunjungi Yahya bin Umar r.a., salah satu gurunya. Di sana ia menemukan seribu buku, tetapi ia tidak memiliki uang untuk membeli riqq (kertas dari kulit) sehingga ia tidak bisa menyalinnya. Akhirnya, ia menjual pakaian yang melekat pada tubuhnya, lalu hasilnya ia belikan riqq.
Abu Bakar Ahmad Al-Barkani r.a. (425 H), salah satu ulama Bagdad, berkata, "Suatu saat aku memasuki Usfarayin dengan membawa tiga dinar dan satu dirham. Sayangnya, dinarku hilang sehingga hanya tersisa satu dirham (sekitar 12 ribu rupiah). Akhirnya, aku menyerahkannya kepada tukang roti dan aku mendapat jatah dua roti setiap hari. Lalu, aku mendengar hadis dari Bashir bin Ahmad dan menulisnya di masjid. Dalam sebulan aku bisa menulis sebanyak 30 juz dan pada saat itu juga jatah rotiku habis, akhirnya aku segera pulang ke negeriku."
Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Rasulullah pernah berkata kepada saya, 'Bacalah Al-Qur'an di hadapanku!'
Aku jawab, 'Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al-Qur'an di hadapanmu, padahal Al-Qur'an diturunkan kepadamu?'
Beliau berkata, 'Aku ingin mendengar bacaan Al-Qur'an dari orang lain.'
Lalu, aku pun membacakan di hadapan beliau Surat An-Nisa' dari awal surat sampai ayat yang berbunyi, 'Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti) jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.' (QS An-Nisa' [4]: 41)
'Cukup!' kata beliau sambil meneteskan air mata." (HR Bukhari)
Imam Nawawi r.a. berkata, "Selayaknya seseorang senantiasa bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu, baik dengan cara membaca, dibacakan, maupun membacakan kepada orang lain, menelaah, memberikan catatan-catatan, membahas, mudzakarah (mempelajari dan mengulang pelajaran), dan menulisnya. Dan janganlah dia merasa sombong sehingga tidak mau belajar kepada orang yang di bawahnya dari sisi umur, nasab, atau kemasyhuran. Bahkan, hendaknya dia bersemangat untuk mendapatkan faedah dari orang yang memilikinya."
Aku jawab, 'Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al-Qur'an di hadapanmu, padahal Al-Qur'an diturunkan kepadamu?'
Beliau berkata, 'Aku ingin mendengar bacaan Al-Qur'an dari orang lain.'
Lalu, aku pun membacakan di hadapan beliau Surat An-Nisa' dari awal surat sampai ayat yang berbunyi, 'Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti) jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.' (QS An-Nisa' [4]: 41)
'Cukup!' kata beliau sambil meneteskan air mata." (HR Bukhari)
Imam Nawawi r.a. berkata, "Selayaknya seseorang senantiasa bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu, baik dengan cara membaca, dibacakan, maupun membacakan kepada orang lain, menelaah, memberikan catatan-catatan, membahas, mudzakarah (mempelajari dan mengulang pelajaran), dan menulisnya. Dan janganlah dia merasa sombong sehingga tidak mau belajar kepada orang yang di bawahnya dari sisi umur, nasab, atau kemasyhuran. Bahkan, hendaknya dia bersemangat untuk mendapatkan faedah dari orang yang memilikinya."
Abu Hurairah r.a adalah sahabat Rasulullah saw. yang mendampingi beliau selama empat tahun. Dalam waktu yang sangat singkat tersebut, Abu Hurairah r.a banyak menyerap Ilmu dan menghafal hadis-hadis dari Rasulullah saw.
Abu Hurairah r.a sendiri pernah berkata, "Orang-orang banyak yang heran, bagaimana aku dapat meriwayatkan hadis begitu banyak. Sebenarnya ketika saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin banyak yang berdagang dan saudara-saudara dari kaum Anshar sibuk berladang, aku selalu di samping Rasulullah saw.
Aku termasuk golongan Ashhabus Suffah dan aku tidak begitu menghiraukan pencarian nafkah karena aku selalu merasa puas dengan sedikit makanan yang diberikan Rasulullah saw kepadaku.
Aku pernah memberitahukan kepada Rasulullah tentang hafalanku yang lemah, lalu beliau bersabda, 'Hamparkan kain selimutmu!'
Aku pun melakukan perintahnya, beliau membuat tanda-tanda di kain selimut itu, kemudian bersabda, 'Sekarang balutkanlah kain selimut ini di sekeliling dadamu.' Aku pun membalut dadaku dengan kain itu. Sejak saat itu aku tidak pernah lupa lagi dengan segala sesuatu yang ingin aku hafalkan." (HR. Abu Daud)
Abu Hurairah r.a sendiri pernah berkata, "Orang-orang banyak yang heran, bagaimana aku dapat meriwayatkan hadis begitu banyak. Sebenarnya ketika saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin banyak yang berdagang dan saudara-saudara dari kaum Anshar sibuk berladang, aku selalu di samping Rasulullah saw.
Aku termasuk golongan Ashhabus Suffah dan aku tidak begitu menghiraukan pencarian nafkah karena aku selalu merasa puas dengan sedikit makanan yang diberikan Rasulullah saw kepadaku.
Aku pernah memberitahukan kepada Rasulullah tentang hafalanku yang lemah, lalu beliau bersabda, 'Hamparkan kain selimutmu!'
Aku pun melakukan perintahnya, beliau membuat tanda-tanda di kain selimut itu, kemudian bersabda, 'Sekarang balutkanlah kain selimut ini di sekeliling dadamu.' Aku pun membalut dadaku dengan kain itu. Sejak saat itu aku tidak pernah lupa lagi dengan segala sesuatu yang ingin aku hafalkan." (HR. Abu Daud)
Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Mughirah bin Bardzibah. la biasa dipanggil Abu Abdullah. Nama Bukhari berasal dari nama negaranya, yaitu Bukhara. la dilahirkan pada tahun 194 H di Bukhara, Khurasan.
Ketika ia ditinggal wafat oleh ayahnya, ia diwarisi banyak harta untuk mencari ilmu. Pada waktu kecil ia adalah seorang tunanetra. Namun, sang ibu terus-menerus berdoa kepada Allah SWT agar penglihatan putranya dipulihkan.
Permintaan sang ibu dikabulkan. Suatu malam sang ibu bermimpi bertemu Nabi Ibrahim a.s. yang memberi kabar kepadanya bahwa Allah SWT akan mengembalikan penglihatan putranya karena ketulusan doanya.
Pagi harinya sebuah keajaiban benar-benar terjadi. Atas izin Allah SWT, penglihatan putranya menjadi normal sehingga ia bisa melihat dunia yang penuh warna.
Ketika ia ditinggal wafat oleh ayahnya, ia diwarisi banyak harta untuk mencari ilmu. Pada waktu kecil ia adalah seorang tunanetra. Namun, sang ibu terus-menerus berdoa kepada Allah SWT agar penglihatan putranya dipulihkan.
Permintaan sang ibu dikabulkan. Suatu malam sang ibu bermimpi bertemu Nabi Ibrahim a.s. yang memberi kabar kepadanya bahwa Allah SWT akan mengembalikan penglihatan putranya karena ketulusan doanya.
Pagi harinya sebuah keajaiban benar-benar terjadi. Atas izin Allah SWT, penglihatan putranya menjadi normal sehingga ia bisa melihat dunia yang penuh warna.
Ibnu Abbas r.a. terkenal akan semangat dan perjuangannya dalam menuntut ilmu. la begitu rindu dan haus akan ilmu sehingga membuka cakrawala pemahamannya untuk menyimpan ilmu Allah SWT yang tanpa batas dan membawanya menjadi ahli tafsir terbaik.
Semangat mencari ilmu ia tularkan. Kemudian ilmu yang diperoleh ia ajarkan kepada semua orang termasuk kepada hamba sahayanya, Ikrimah r.a. Tak heran Ikrimah r.a menjadi ulama besar pada zamannya karena mendapat ajaran langsung dari majikannya yang sangat cerdas.
Metode pengajaran dari majikannya pun sangat unik. Ikrimah r.a. mengisahkan metode Ibnu Abbas r.a. ketika mengajarnya, "Ketika tuan saya, yaitu Ibnu Abbas, mengajari saya Al-Qur'an, hadis, dan syariat agama, beliau akan mengikat kaki saya agar saya tidak pergi ke mana-mana dan sepenuhnya mendengarkan pelajaran yang disampaikannya. Beliau jugalah yang mengajarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis kepada saya." (HR Bukhari dan Ibnu Sa'ad)
Semangat mencari ilmu ia tularkan. Kemudian ilmu yang diperoleh ia ajarkan kepada semua orang termasuk kepada hamba sahayanya, Ikrimah r.a. Tak heran Ikrimah r.a menjadi ulama besar pada zamannya karena mendapat ajaran langsung dari majikannya yang sangat cerdas.
Metode pengajaran dari majikannya pun sangat unik. Ikrimah r.a. mengisahkan metode Ibnu Abbas r.a. ketika mengajarnya, "Ketika tuan saya, yaitu Ibnu Abbas, mengajari saya Al-Qur'an, hadis, dan syariat agama, beliau akan mengikat kaki saya agar saya tidak pergi ke mana-mana dan sepenuhnya mendengarkan pelajaran yang disampaikannya. Beliau jugalah yang mengajarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis kepada saya." (HR Bukhari dan Ibnu Sa'ad)
Seorang anak laki-laki duduk di hadapan Rasulullah saw. mendengarkan untaian ilmu penuh hikmah dengan keseriusan. Dengan mudahnya ia mencerna kata demi kata yang mengalir dari bibir Rasulullah saw. dan menyerapnya. Rasa keingintahuan yang tinggi membuatnya betah berada di sisi beliau untuk belajar tanpa mengenal waktu dan lelah.
Anak lelaki itu adalah Ibnu Abbas r.a. Ketinggian ilmunya didengar oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah saw. Padahal, saat itu lbnu Abbas r.a. baru berusia 13 tahun. Umar bin Khaththab r.a. pun sering meminta pendapatnya ketika menghadapi masalah yang pelik.
Ketika seorang sahabat bertanya kepadanya, "Bagaimana engkau mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?"
"Dengan lidah yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir," jawabnya.
Dari hal itulah Ibnu Abbas r.a. menjadi tempat bertanya karena kegemarannya bertanya. la pun menjadi tempat mencari ilmu karena kegemarannya mencari ilmu.
Anak lelaki itu adalah Ibnu Abbas r.a. Ketinggian ilmunya didengar oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah saw. Padahal, saat itu lbnu Abbas r.a. baru berusia 13 tahun. Umar bin Khaththab r.a. pun sering meminta pendapatnya ketika menghadapi masalah yang pelik.
Ketika seorang sahabat bertanya kepadanya, "Bagaimana engkau mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?"
"Dengan lidah yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir," jawabnya.
Dari hal itulah Ibnu Abbas r.a. menjadi tempat bertanya karena kegemarannya bertanya. la pun menjadi tempat mencari ilmu karena kegemarannya mencari ilmu.
la dilahirkan di Gaza, Palestina, pada tahun 150 H. la diberi nama Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin 'Utsman bin Syafi'i Al-Quraisy bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Sejak ia masih di dalam kandungan, ayahnya yang bernama Idris telah meninggal dunia.
Imam Syafi'i berkisah, "Setelah aku hafal Al-Qur'an, aku masuk ke Masjidil Haram untuk berguru kepada para ulama. Dari merekalah aku menimba ilmu, menghafal hadis, dan berbagai masalah ilmiah lainnya.
Rumahku berada di lereng bukit Khaif. Aku sering melihat potongan tulang yang putih berkilauan, kemudian tulang itu kupungut dan kujadikan sarana menulis hadis atau masalah ilmiah lainnya.
Dahulu kami memiliki sebuah guci tua untuk menyimpan potongan-potongan tulang itu. Tiap kali tulang yang kubawa telah penuh berisi tulisan, aku menyimpannya dalam guci itu."
Imam Syafi'i berkisah, "Setelah aku hafal Al-Qur'an, aku masuk ke Masjidil Haram untuk berguru kepada para ulama. Dari merekalah aku menimba ilmu, menghafal hadis, dan berbagai masalah ilmiah lainnya.
Rumahku berada di lereng bukit Khaif. Aku sering melihat potongan tulang yang putih berkilauan, kemudian tulang itu kupungut dan kujadikan sarana menulis hadis atau masalah ilmiah lainnya.
Dahulu kami memiliki sebuah guci tua untuk menyimpan potongan-potongan tulang itu. Tiap kali tulang yang kubawa telah penuh berisi tulisan, aku menyimpannya dalam guci itu."
Ketika Imam Bukhari r.a. mengunjungi Bagdad, para ahli hadis di kota tersebut mendengar kedatangannya. Mereka hendak mengujinya dengan berbagai cara termasuk mencampuradukkan isi hadis untuk membingungkannya.
Mereka juga mengacak-acak hadis dengan menukar-nukar perawinya. Tugas ini diserahkan kepada sepuluh orang yang masing-masing mengeluarkan sepuluh hadis palsu.
Ketika Imam Bukhari menggelar majelis ilmu, mereka ikut bergabung di dalam majelis tersebut guna menanyakan kebenaran hadis-hadis yang telah direkayasa tersebut. Tidak lupa mereka juga mengundang ahli hadis dari luar Bagdad untuk meramaikan perdebatan yang akan terjadi.
Satu per satu dari mereka mengemukakan hadis palsunya kepada Al-Bukhari dan beliau selalu menjawabnya dengan dua kata, "Tidak tahu," .... "tidak tahu,"..... dan "tidak tahu."
Mereka juga mengacak-acak hadis dengan menukar-nukar perawinya. Tugas ini diserahkan kepada sepuluh orang yang masing-masing mengeluarkan sepuluh hadis palsu.
Ketika Imam Bukhari menggelar majelis ilmu, mereka ikut bergabung di dalam majelis tersebut guna menanyakan kebenaran hadis-hadis yang telah direkayasa tersebut. Tidak lupa mereka juga mengundang ahli hadis dari luar Bagdad untuk meramaikan perdebatan yang akan terjadi.
Satu per satu dari mereka mengemukakan hadis palsunya kepada Al-Bukhari dan beliau selalu menjawabnya dengan dua kata, "Tidak tahu," .... "tidak tahu,"..... dan "tidak tahu."
Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi, pakar nasob (silsilah keturunan), menuturkan bahwa gurunya, Fahrudin Ar-Razi, pergi ke Maru. la adalah ulama berkepribadian karismatik dan penuh wibawa sehingga di hadapannya tidak ada seorang pun yang berani berkata keras.
Suatu saat Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi ragu-ragu dan tidak lancar membaca di hadapannya. Kemudian sang guru memberi tugas kepadanya, "Aku ingin engkau menulis untukku satu kitab tentang silsilah para pelajar untuk aku periksa dan aku lafalkan!"
Ketika kitab itu selesai disusun, Ismail menyerahkan tugas tersebut kepada gurunya. Setelah menerima kitab tersebut, gurunya turun dari bangku dan duduk di atas tikar bersamanya. Namun, sang guru memerintahkan Ismail untuk duduk di atas bangkunya. Tentu saja hal ini membuat Ismail salah tingkah.
Suatu saat Ismail bin Al-Husain Al-Ghanawi ragu-ragu dan tidak lancar membaca di hadapannya. Kemudian sang guru memberi tugas kepadanya, "Aku ingin engkau menulis untukku satu kitab tentang silsilah para pelajar untuk aku periksa dan aku lafalkan!"
Ketika kitab itu selesai disusun, Ismail menyerahkan tugas tersebut kepada gurunya. Setelah menerima kitab tersebut, gurunya turun dari bangku dan duduk di atas tikar bersamanya. Namun, sang guru memerintahkan Ismail untuk duduk di atas bangkunya. Tentu saja hal ini membuat Ismail salah tingkah.
Rasulullah saw. beserta pasukan muslimin bergerak menuju mata air di Badar. Mereka bersiap-siap hendak menghadapi pasukan musyrikin Quraisy di sekitar wilayah tersebut.
Setelah pasukan muslimin tiba di mata air, Rasulullah saw berhenti. Seorang sahabat bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh r.a. yang mengenali seluk-beluk tempat itu bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, engkau berhenti di tempat ini apakah karena perintah wahyu atau sekadar pendapatmu sendiri?"
"Sekadar pendapat dan taktik perang," jawab Rasulullah saw.
Hubab r.a. berkata, "Jika demikian, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (pasukan Quraisy), lalu sumur-sumur kering yang di belakang itu kita timbun. Selanjutnya, kita membuat kolam dan kita isi sepenuhnya dengan air. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak."
Rasulullah saw. segera menyetujuinya karena saran tersebut masuk akal dan sangat brilian. Pasukan muslimin pun melakukan saran Hubab r.a.
Setelah pasukan muslimin tiba di mata air, Rasulullah saw berhenti. Seorang sahabat bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh r.a. yang mengenali seluk-beluk tempat itu bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, engkau berhenti di tempat ini apakah karena perintah wahyu atau sekadar pendapatmu sendiri?"
"Sekadar pendapat dan taktik perang," jawab Rasulullah saw.
Hubab r.a. berkata, "Jika demikian, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (pasukan Quraisy), lalu sumur-sumur kering yang di belakang itu kita timbun. Selanjutnya, kita membuat kolam dan kita isi sepenuhnya dengan air. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak."
Rasulullah saw. segera menyetujuinya karena saran tersebut masuk akal dan sangat brilian. Pasukan muslimin pun melakukan saran Hubab r.a.
Zaid bin Aslam menceritakan kisah dari ayahnya tentang pengangkatan Al-Mughirah bin Syu'bah r.a. oleh Khalifah Umar bin Khaththab r.a. menjadi gubernur Bahrain.
Keberadaan Al-Mughirah r.a. menjadi gubernur tentu saja mengancam para pejabat lain yang licik karena mereka tidak akan leluasa lagi memakan harta rakyat.
Mereka pun menghasut rakyat agar membenci Al-Mughirah r.a. dan mengajukan keberatan tentang pengangkatan tersebut kepada Amirul Mukminin. Ternyata keberatan rakyat tersebut dikabulkan oleh Umar r.a.
Kemudian Umar r.a. memecat Al-Mughirah r.a. meskipun ia percaya bahwa Al-Mughirah r.a. adalah orang yang tepat atas jabatan tersebut. Akan tetapi, jika ada rakyatnya yang tidak mendukung kebijakannya, ia memilih untuk memenuhi keinginan rakyatnya daripada keputusannya, hasil pemikirannya sendiri.
Keberadaan Al-Mughirah r.a. menjadi gubernur tentu saja mengancam para pejabat lain yang licik karena mereka tidak akan leluasa lagi memakan harta rakyat.
Mereka pun menghasut rakyat agar membenci Al-Mughirah r.a. dan mengajukan keberatan tentang pengangkatan tersebut kepada Amirul Mukminin. Ternyata keberatan rakyat tersebut dikabulkan oleh Umar r.a.
Kemudian Umar r.a. memecat Al-Mughirah r.a. meskipun ia percaya bahwa Al-Mughirah r.a. adalah orang yang tepat atas jabatan tersebut. Akan tetapi, jika ada rakyatnya yang tidak mendukung kebijakannya, ia memilih untuk memenuhi keinginan rakyatnya daripada keputusannya, hasil pemikirannya sendiri.
Sekelompok anak sedang bermain dengan serunya. Kemudian Khalifah Umar bin Khaththab r.a. yang berperawakan tinggi besar berjalan hendak melewati mereka.
Kontan semua anak berlari menghindarinya, kecuali seorang anak yang bernama Ibnu Zubair. Umar r.a. mendekati anak itu seraya bertanya, "Mengapa engkau tidak lari bersama teman-temanmu?"
Ibnu Zubair menjawab dengan lantang, "Wahai Amirul Mukminin! Aku tidak melakukan kejahatan, mengapa aku harus lari? Jalan ini juga tidak terlalu sempit, mengapa aku harus menyingkir untuk memberi jalan kepadamu?"
Jawaban anak tersebut membuat Umar r.a. tersenyum kagum atas kecerdasan dan keberaniannya.
Kontan semua anak berlari menghindarinya, kecuali seorang anak yang bernama Ibnu Zubair. Umar r.a. mendekati anak itu seraya bertanya, "Mengapa engkau tidak lari bersama teman-temanmu?"
Ibnu Zubair menjawab dengan lantang, "Wahai Amirul Mukminin! Aku tidak melakukan kejahatan, mengapa aku harus lari? Jalan ini juga tidak terlalu sempit, mengapa aku harus menyingkir untuk memberi jalan kepadamu?"
Jawaban anak tersebut membuat Umar r.a. tersenyum kagum atas kecerdasan dan keberaniannya.
Sebuah kisah dari Al-Jahizh, ia menceritakan bahwa suatu hari lyas bin Muawiyah melihat bongkahan batu besar. lyas berkata, "Di bawah bongkahan batu tersebut pasti terdapat hewan melata!"
Orang-orang di sekitarnya ingin membuktikan ucapan lyas. Mereka pun membongkar bongkahan batu tersebut. Benarlah, di dalamnya terdapat seekor ular. Salah seorang dari mereka bertanya, "Dari mana kamu mengetahuinya?"
lyas menjawab "Saya melihat diantara bongkahan batu tersebut terdapat bagian yang lembap, padahal ini adalah tempat terbuka. Karena itulah saya mengetahui bahwa di bawahnya ada sesuatu yang bernapas."
Orang-orang di sekitarnya ingin membuktikan ucapan lyas. Mereka pun membongkar bongkahan batu tersebut. Benarlah, di dalamnya terdapat seekor ular. Salah seorang dari mereka bertanya, "Dari mana kamu mengetahuinya?"
lyas menjawab "Saya melihat diantara bongkahan batu tersebut terdapat bagian yang lembap, padahal ini adalah tempat terbuka. Karena itulah saya mengetahui bahwa di bawahnya ada sesuatu yang bernapas."
Zaid bin Tsabit r.a. adalah sahabat Rasulullah saw. yang paling menguasai ilmu faraidh, yaitu ilmu perhitungan, terutama dalam hal pembagian harta waris. la juga ahli dalam bidang fatwa, qadhi, dan qira'at di Medinah Al-Munawwarah.
Dulu ketika masih di Mekah, ia telah menjadi yatim saat berumur 6 tahun. Selama di Mekah ia telah menghafal 17 surat dalam Al-Qur'an. Lima tahun sejak itu, ia ikut hijrah ke Medinah.
Rasulullah saw memperkenalkan Zaid r.a yang masih kecil sebagai anak dari kabilah Najjar kepada orang-orang di dalam majelis beliau. Kemudian Zaid r.a. disuruh membacakan surat-surat yang telah dihafalnya. Kemudian ia pun memperdengarkan Surat Qaf di hadapan Rasulullah saw. dan beliau sangat menyukai bacaannya.
Dulu ketika masih di Mekah, ia telah menjadi yatim saat berumur 6 tahun. Selama di Mekah ia telah menghafal 17 surat dalam Al-Qur'an. Lima tahun sejak itu, ia ikut hijrah ke Medinah.
Rasulullah saw memperkenalkan Zaid r.a yang masih kecil sebagai anak dari kabilah Najjar kepada orang-orang di dalam majelis beliau. Kemudian Zaid r.a. disuruh membacakan surat-surat yang telah dihafalnya. Kemudian ia pun memperdengarkan Surat Qaf di hadapan Rasulullah saw. dan beliau sangat menyukai bacaannya.
Ibnu Al-Jauzi r.a. menuturkan bahwa suatu ketika seorang saudagar dari Khurasan berniat untuk berangkat ibadah haji. la mempersiapkan diri menuju Arafah dan di tangannya masih ada kelebihan uang seribu dinar.
Dikarenakan ia tidak memerlukan uang tersebut dalam ibadah hajinya, ia pun menyembunyikannya di bawah pohon khuru' tanpa seorang pun yang melihat.
Sepulangnya dari ibadah haji, sang saudagar pun berniat mengambil uangnya yang dipendam di dalam tanah. Namun, alangkah terkejutnya ketika mendapati uangnya lenyap di tempat penyimpanannya.
la pun menangis dan mengadukan hal tersebut kepada para sahabatnya, "Tanah telah mencuri uangku!"
Dikarenakan ia tidak memerlukan uang tersebut dalam ibadah hajinya, ia pun menyembunyikannya di bawah pohon khuru' tanpa seorang pun yang melihat.
Sepulangnya dari ibadah haji, sang saudagar pun berniat mengambil uangnya yang dipendam di dalam tanah. Namun, alangkah terkejutnya ketika mendapati uangnya lenyap di tempat penyimpanannya.
la pun menangis dan mengadukan hal tersebut kepada para sahabatnya, "Tanah telah mencuri uangku!"
Yahya Al-Marwazi menceritakan bahwa pada suatu hari ia sedang makan bersama Khalifah Harun Ar-Rasyid. Kemudian sang khalifah menoleh ke arah pelayan seraya berbicara dengan bahasa Persia kepadanya.
Yahya Al-Marwazi berkata kepada khalifah, "Wahai Amirul Mukminin, jika engkau hendak menyampaikan rahasia kepadanya, janganlah menggunakan bahasa Persia karena aku mengerti bahasa Persia."
Dengan tenang Harun Ar-Rasyid r.a. menjawab, "Siapa bilang? Kami tidak menyembunyikan rahasia!"
Ya, rahasia itu tentu saja bukan menjadi rahasia lagi karena telah diketahui oleh tamunya yang ternyata mengerti bahasa Persia.
Yahya Al-Marwazi berkata kepada khalifah, "Wahai Amirul Mukminin, jika engkau hendak menyampaikan rahasia kepadanya, janganlah menggunakan bahasa Persia karena aku mengerti bahasa Persia."
Dengan tenang Harun Ar-Rasyid r.a. menjawab, "Siapa bilang? Kami tidak menyembunyikan rahasia!"
Ya, rahasia itu tentu saja bukan menjadi rahasia lagi karena telah diketahui oleh tamunya yang ternyata mengerti bahasa Persia.
Isa bin Muhammad Ath-Thumari menuturkan bahwa ia mendengar Abu Umar Muhammad bin Yusuf Al-Qadhi mengatakan bahwa ayahnya menderita sakit selama berbulan-bulan.
Suatu malam ia terbangun, lalu membangunkan saudara-saudaranya seraya berkata, "Aku baru saja bermimpi seakan-akan ada orang yang berkata, 'Minumlah tidak dan makanlah tidak!'"
la tidak tahu tafsiran mimpi itu, begitu pula saudara-saudaranya. Mereka sangat berharap mimpi tersebut adalah sebuah petunjuk atas kesembuhan ayahnya.
Kemudian mereka menemui Abu Ali Al-Khayyath, seorang laki-laki yang ahli dalam menafsirkan mimpi dan tinggal di dekat pintu gerbang kota. Mereka pun menceritakan perihal mimpi tersebut.
Suatu malam ia terbangun, lalu membangunkan saudara-saudaranya seraya berkata, "Aku baru saja bermimpi seakan-akan ada orang yang berkata, 'Minumlah tidak dan makanlah tidak!'"
la tidak tahu tafsiran mimpi itu, begitu pula saudara-saudaranya. Mereka sangat berharap mimpi tersebut adalah sebuah petunjuk atas kesembuhan ayahnya.
Kemudian mereka menemui Abu Ali Al-Khayyath, seorang laki-laki yang ahli dalam menafsirkan mimpi dan tinggal di dekat pintu gerbang kota. Mereka pun menceritakan perihal mimpi tersebut.
Ibnu Habib menuturkan bahwa seorang lelaki bersumpah tidak akan menikah setelah meminta pendapat kepada seratus orang dikarenakan ia telah menerima perlakuan buruk dari beberapa perempuan.
Setelah ia meminta pendapat kepada 99 orang, masih ada satu orang lagi yang harus ia mintai pendapatnya. la pun berniat bertanya kepada siapa pun yang ia temui pertama kali di jalan.
Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki gila yang mengenakan kalung tulang di lehernya serta berwajah kotor kehitaman. la menaiki sebatang kayu seolah-olah sedang menunggang kuda. Lelaki itu pun mengucapkan salam kepada orang gila tersebut seraya berkata, "Aku mau bertanya tentang satu masalah, barangkali engkau dapat memberi jawaban."
Setelah ia meminta pendapat kepada 99 orang, masih ada satu orang lagi yang harus ia mintai pendapatnya. la pun berniat bertanya kepada siapa pun yang ia temui pertama kali di jalan.
Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki gila yang mengenakan kalung tulang di lehernya serta berwajah kotor kehitaman. la menaiki sebatang kayu seolah-olah sedang menunggang kuda. Lelaki itu pun mengucapkan salam kepada orang gila tersebut seraya berkata, "Aku mau bertanya tentang satu masalah, barangkali engkau dapat memberi jawaban."
Abdul Malik bin Umair r.a. menuturkan bahwa Ziyad r.a. menangkap seorang lelaki Khawarij, tetapi lelaki itu melarikan diri. Kemudian ia menangkap pamannya seraya mengancam, "Apabila engkau tidak dapat mendatangkan kemenakanmu itu, aku akan memenggal lehermu!"
Paman lelaki itu menjawab, "Bagaimana jika engkau diberi surat keputusan dari Amirul Mukminin agar membebaskanku, apakah engkau akan membiarkanku pergi?"
"Tentu," jawab Ziyad r.a. pasti.
Lalu, ia berkata, "Aku membawa keputusan dari Allah Yang Maha mulia dan Maha Pengasih, dengan memberi dua saksi, Nabi Ibrahim a.s. dan Musa a.s., "Ataukah belum diberitakan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (Kitab Suci yang diturunkan kepada) Musa? Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS An-Najm [53]: 36-38)
Ziyad r.a. langsung membebaskan paman lelaki tersebut karena alasan yang ia berikan memiliki landasan hukum. Yaitu, ia tidak berkewajiban untuk menanggung dosa yang diperbuat kemenakannya karena setiap dosa adalah tanggung jawab masing-masing pelakunya.
Paman lelaki itu menjawab, "Bagaimana jika engkau diberi surat keputusan dari Amirul Mukminin agar membebaskanku, apakah engkau akan membiarkanku pergi?"
"Tentu," jawab Ziyad r.a. pasti.
Lalu, ia berkata, "Aku membawa keputusan dari Allah Yang Maha mulia dan Maha Pengasih, dengan memberi dua saksi, Nabi Ibrahim a.s. dan Musa a.s., "Ataukah belum diberitakan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (Kitab Suci yang diturunkan kepada) Musa? Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS An-Najm [53]: 36-38)
Ziyad r.a. langsung membebaskan paman lelaki tersebut karena alasan yang ia berikan memiliki landasan hukum. Yaitu, ia tidak berkewajiban untuk menanggung dosa yang diperbuat kemenakannya karena setiap dosa adalah tanggung jawab masing-masing pelakunya.
Suatu hari orang-orang sedang menanti untuk melihat hilal bulan Ramadan, tetapi tidak seorang pun melihatnya, kecuali Anas bin Malik Al-Anshari r.a. yang usianya telah mendekati seratus tahun. Kesaksiannya melihat hilal disampaikan kepada Hakim lyas bin Muawiyah r.a., lalu ia berkata, "Tunjukkan kepadaku letak hilal itu!"
Anas bin Malik r.a. pun menunjuk ke arah letak hilal yang ia lihat, tetapi lyas r.a tidak melihatnya. lyas r.a berpikir sejenak, lalu mengamati pelupuk mata Anas r.a.
Ternyata ia melihat ada sehelai rambut mata putih yang menyilang tepat di depan bola matanya.Kemudian lyas r.a. mengusap dan meluruskan rambut mata Anas r.a. dan bertanya lagi, "Sekarang, tunjukkan kepadaku letak hilal yang engkau lihat!"
Anas r.a. memandang ke langit seraya berkata, "Sekarang aku tidak melihatnya."
Anas bin Malik r.a. pun menunjuk ke arah letak hilal yang ia lihat, tetapi lyas r.a tidak melihatnya. lyas r.a berpikir sejenak, lalu mengamati pelupuk mata Anas r.a.
Ternyata ia melihat ada sehelai rambut mata putih yang menyilang tepat di depan bola matanya.Kemudian lyas r.a. mengusap dan meluruskan rambut mata Anas r.a. dan bertanya lagi, "Sekarang, tunjukkan kepadaku letak hilal yang engkau lihat!"
Anas r.a. memandang ke langit seraya berkata, "Sekarang aku tidak melihatnya."
Ibnu Al-Jauzi r.a. menuturkan bahwa Muawiyah r.a. berkata kepada Abdullah bin Amir r.a., "Aku mempunyai permintaan untukmu, sanggupkah engkau memenuhinya?"
Abdullah r.a. menjawab, "Ya, dan aku juga mempunyai permintaan untukmu, apakah kau mau memenuhinya juga?"
Muawiyah r.a. menyanggupinya seraya berkata, "Katakan apa permintaanmu?"
"Aku ingin kau memberi rumah-rumahmu di Thaif kepadaku," ucapnya kepada Muawiyah r.a.
"Baiklah, aku berikan," jawab Muawiyah r.a. enteng.
"Sekarang, apa permintaanmu?" tanya Abdullah r.a. kepada Muawiyah r.a.
la pun menjawab, "Kembalikanlah rumah-rumah itu kepadaku."
Abdullah bin Amir r.a. menjawab, "Baiklah, telah aku lakukan."
Abdullah r.a. menjawab, "Ya, dan aku juga mempunyai permintaan untukmu, apakah kau mau memenuhinya juga?"
Muawiyah r.a. menyanggupinya seraya berkata, "Katakan apa permintaanmu?"
"Aku ingin kau memberi rumah-rumahmu di Thaif kepadaku," ucapnya kepada Muawiyah r.a.
"Baiklah, aku berikan," jawab Muawiyah r.a. enteng.
"Sekarang, apa permintaanmu?" tanya Abdullah r.a. kepada Muawiyah r.a.
la pun menjawab, "Kembalikanlah rumah-rumah itu kepadaku."
Abdullah bin Amir r.a. menjawab, "Baiklah, telah aku lakukan."
Nama Ummu Salamah r.a. adalah Hindun bin Abi Umayyah Al-Makhzumiyyah. la berasaldari Bani Makhzum, salah satu kabilah terpandang dari suku Quraisy. la adalah wanita cantik, cerdas, dan dermawan. Kecantikannya membuat Aisyah r.a. dan Hafshah r.a. cemburu ketika Rasulullah saw. menikahinya.
Kecerdasan dan kematangan berpikirnya terbukti dalam kejadian yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a. dan Al-Bukhari r.a. berikut. Setelah Rasulullah saw melakukan Perjanjian Hudaibiyah, banyak kaum muslimin yang meragukan perjanjian tersebut karena dianggap lebih menguntungkan kaum musyrikin Quraisy di Mekah ketimbang kaum muslimin.
Ketika Rasulullah saw. menyeru para sahabatnya, "Hendaklah kalian bangkit untuk menyembelih unta kalian dan mencukur rambut!" Tak seorang pun dari kaum muslimin yang melakukannya, bahkan ketika Rasulullah saw. mengulangi sabdanya hingga ketiga kali.
Kecerdasan dan kematangan berpikirnya terbukti dalam kejadian yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a. dan Al-Bukhari r.a. berikut. Setelah Rasulullah saw melakukan Perjanjian Hudaibiyah, banyak kaum muslimin yang meragukan perjanjian tersebut karena dianggap lebih menguntungkan kaum musyrikin Quraisy di Mekah ketimbang kaum muslimin.
Ketika Rasulullah saw. menyeru para sahabatnya, "Hendaklah kalian bangkit untuk menyembelih unta kalian dan mencukur rambut!" Tak seorang pun dari kaum muslimin yang melakukannya, bahkan ketika Rasulullah saw. mengulangi sabdanya hingga ketiga kali.
Suatu ketika Khalifah Al-Makmun murka kepada Thahir bin Abdullah. Thahir bermaksud menemuinya. Salah seorang sahabat Thahir yang mengetahui kemurkaan khalifah ingin mengingatkan sahabatnya untuk tidak menemui khalifah. Kemudian ia mengirim surat kepada Thahir yang berisi salam dan kalimat singkat, "Hai Musa!"
Thahir yang membaca surat itu tidak mengerti maksud kalimat tersebut. la berpikir keras dan merenungkan maksud yang hendak disampaikan sahabatnya. Beruntung ia memiliki budak perempuan yang cerdas.
Setelah mengetahui hal yang mengganggu tuannya, ia berkata, "Tuan, sebenarnya sahabatmu itu hendak mengatakan ayat ini, "... Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu ....' (QS Al-Qashash [28]: 20)."
Setelah mendengar penjelasan dari budaknya itu, akhirnya Thahir pun mengurungkan niatnya untuk menemui khalifah.
Thahir yang membaca surat itu tidak mengerti maksud kalimat tersebut. la berpikir keras dan merenungkan maksud yang hendak disampaikan sahabatnya. Beruntung ia memiliki budak perempuan yang cerdas.
Setelah mengetahui hal yang mengganggu tuannya, ia berkata, "Tuan, sebenarnya sahabatmu itu hendak mengatakan ayat ini, "... Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu ....' (QS Al-Qashash [28]: 20)."
Setelah mendengar penjelasan dari budaknya itu, akhirnya Thahir pun mengurungkan niatnya untuk menemui khalifah.
Diriwayatkan ketika lyas bin Muawiyah r.a. duduk di Majelis Hakim di Bashrah, seorang lelaki menemuinya dan bersaksi bahwa sebuah kebun di suatu tempat adalah milik si Fulan. Untuk membuktikan bahwa ia mengenal seluk-beluk kebun itu, ia pun menyebutkan luas dan batas-batasnya.
Untuk lebih memastikan, Hakim lyas r.a. bertanya kepadanya, "Berapa jumlah pohonnya?"
Orang itu terdiam sejenak untuk berpikir. Kemudian ia balik bertanya, "Sejak kapan Hakim yang mulia memimpin persidangan di majelis ini?"
Meskipun pertanyaan tersebut tidak ada kaitannya dengan persidangan, Hakim lyas r.a. menjawabnya dengan menjelaskan lamanya.
Lelaki itu bertanya kembali, "Berapa jumlah kayu atap gedung pengadilan ini?"
Hakim lyas r.a. tersenyum lebar mengetahui kecerdasan lelaki tersebut karena ia pun tidak pernah memperhatikan hal sedetail itu pada gedungnya. la pun memaklumi jika lelaki itu tidak memedulikan jumlah pohon di kebun tersebut. Akhirnya, ia pun menerima kesaksian lelaki tersebut.
Untuk lebih memastikan, Hakim lyas r.a. bertanya kepadanya, "Berapa jumlah pohonnya?"
Orang itu terdiam sejenak untuk berpikir. Kemudian ia balik bertanya, "Sejak kapan Hakim yang mulia memimpin persidangan di majelis ini?"
Meskipun pertanyaan tersebut tidak ada kaitannya dengan persidangan, Hakim lyas r.a. menjawabnya dengan menjelaskan lamanya.
Lelaki itu bertanya kembali, "Berapa jumlah kayu atap gedung pengadilan ini?"
Hakim lyas r.a. tersenyum lebar mengetahui kecerdasan lelaki tersebut karena ia pun tidak pernah memperhatikan hal sedetail itu pada gedungnya. la pun memaklumi jika lelaki itu tidak memedulikan jumlah pohon di kebun tersebut. Akhirnya, ia pun menerima kesaksian lelaki tersebut.
Diriwayatkan bahwa Isa bin Musa r.a. sangat mencintai istrinya. Pada suatu hari ia berkata sambil bercanda kepada istrinya, "Kamu akan kucerai jika tidak lebih cantik daripada bulan purnama!"
Mendengar kata-kata itu, ia bangkit dan menjauhi suaminya seraya berkata, "Suamiku, dengan kata-katamu itu, engkau telah menalakku!"
Sang suami terkejut mendengar pernyataan istrinya. Baginya, sang istri lebih cantik dari apa pun benda atau makhluk di dunia ini. Namun, siapa yang memungkiri kalau purnama adalah lambang dari kecantikan bidadari yang tiada tertandingi. Semalaman, ia hanya tidur sendirian tanpa sang istri sambil menyesali perkataannya.
Keesokan harinya ia pergi menemui Khalifah Al-Manshur r.a. untuk menanyakan hukum permasalahannya. Isa r.a. pun menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya kepada Khalifah Al-Manshur. la berkata, "Wahai Amirul Mukminin. Jika perceraian benar-benar terjadi, betapa hancur jiwaku. Kiranya mati lebih baik bagiku daripada hidup tanpa istri yang sangat aku cintai itu!"
Mendengar kata-kata itu, ia bangkit dan menjauhi suaminya seraya berkata, "Suamiku, dengan kata-katamu itu, engkau telah menalakku!"
Sang suami terkejut mendengar pernyataan istrinya. Baginya, sang istri lebih cantik dari apa pun benda atau makhluk di dunia ini. Namun, siapa yang memungkiri kalau purnama adalah lambang dari kecantikan bidadari yang tiada tertandingi. Semalaman, ia hanya tidur sendirian tanpa sang istri sambil menyesali perkataannya.
Keesokan harinya ia pergi menemui Khalifah Al-Manshur r.a. untuk menanyakan hukum permasalahannya. Isa r.a. pun menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya kepada Khalifah Al-Manshur. la berkata, "Wahai Amirul Mukminin. Jika perceraian benar-benar terjadi, betapa hancur jiwaku. Kiranya mati lebih baik bagiku daripada hidup tanpa istri yang sangat aku cintai itu!"
Seorang laki-laki bertanya kepada lyas bin Muawiyah r.a., "Apakah jika aku makan kurma, engkau akan menjatuhkan hukuman cambuk terhadapku?"
"Tidak," jawab lyas r.a.
Lelaki itu bertanya lagi, "Apakah jika aku minum satu ketel air, engkau akan menjatuhkan hukuman cambuk kepadaku?"
"Tentu saja tidak," jawab lyas r.a. kembali.
"Tetapi mengapa minuman khamar yang dibuat dari kurma dan air menjadi haram dan peminumnya dikenai hukuman?" ungkap lelaki tersebut.
lyas r.a. dengan tenang balik bertanya, "Apakah jika dilempar tanah engkau merasa sakit?"
"Tidak," jawab lyas r.a.
Lelaki itu bertanya lagi, "Apakah jika aku minum satu ketel air, engkau akan menjatuhkan hukuman cambuk kepadaku?"
"Tentu saja tidak," jawab lyas r.a. kembali.
"Tetapi mengapa minuman khamar yang dibuat dari kurma dan air menjadi haram dan peminumnya dikenai hukuman?" ungkap lelaki tersebut.
lyas r.a. dengan tenang balik bertanya, "Apakah jika dilempar tanah engkau merasa sakit?"
Ketika Tsumamah sedang mengunjungi rumah temannya, keledai tunggangannya ia tinggalkan di depan rumah temannya tanpa ditunggui siapa pun. Usai bersilaturrahim, alangkah terkejutnya ketika mendapati seorang bocah sedang menunggangi keledainya. la pun bertanya kepada bocah tersebut, "Mengapa kau naiki keledaiku tanpa seizinku?"
"Tuan, aku khawatir keledai ini kabur maka dari itu aku menjaganya," jawab bocah itu enteng.
Alasan tersebut sangat mengada-ada. Maka Tsumamah menimpali,"Aku lebih sedang keledaiku kabur daripada tetap di sini, tetapi kau naiki."
Bocah itu menjawab, "Jika itu pikiran Tuan, anggaplah bahwa keledai ini telah pergi dan anggaplah ini menjadi milikku, lalu terimalah ucapan terima kasihku. Aku tidak tahu apa yang lebih pantas aku ucapkan."
"Tuan, aku khawatir keledai ini kabur maka dari itu aku menjaganya," jawab bocah itu enteng.
Alasan tersebut sangat mengada-ada. Maka Tsumamah menimpali,"Aku lebih sedang keledaiku kabur daripada tetap di sini, tetapi kau naiki."
Bocah itu menjawab, "Jika itu pikiran Tuan, anggaplah bahwa keledai ini telah pergi dan anggaplah ini menjadi milikku, lalu terimalah ucapan terima kasihku. Aku tidak tahu apa yang lebih pantas aku ucapkan."
Al-Ashmu'i bertanya kepada seorang anak Arab, "Apakah kamu suka memiliki uang seratus ribu dirham, tetapi engkau bodoh?"
Anak itu menjawab, "Tentu saja tidak mau!"
"Mengapa demikian?" tanya Al-Ashmu'i kembali.
"Aku takut karena kebodohanku aku melakukan kejahatan yang menyebabkan hilangnya seratus ribu dirhamku, dan kebodohan tetap ada bersamaku," jawab anak tersebut.
Anak itu menjawab, "Tentu saja tidak mau!"
"Mengapa demikian?" tanya Al-Ashmu'i kembali.
"Aku takut karena kebodohanku aku melakukan kejahatan yang menyebabkan hilangnya seratus ribu dirhamku, dan kebodohan tetap ada bersamaku," jawab anak tersebut.
Al-Mazni menuturkan, "Jika ada seseorang yang dapat mengeluarkan keraguan yang ada dalam hatiku dan yang melekat dalam benakku tentang Dzat Tuhan, kiranya orang itu adalah Imam Syafi'i. Kemudian aku pergi menemuinya pada saat ia sedang berada dalam masjid di Mesir.
Ketika telah duduk di hadapannya, kemudian aku berkata, 'Wahai Sang lmam, telah terbetik dalam benakku satu masalah mengenai Dzat Tuhan. Aku pun sadar bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan, melainkan engkau. Apakah kautahu masalah tersebut?'
Imam Syafi'i marah mendengar pertanyaanku itu seraya berkata, 'Tahukah di mana engkau sekarang? Ini negeri tempat Allah menenggelamkan Fir'aun! Apakah engkau pernah mendengar bahwa Rasulullah memerintahkan agar engkau menanyakan masalah itu?'
Ketika telah duduk di hadapannya, kemudian aku berkata, 'Wahai Sang lmam, telah terbetik dalam benakku satu masalah mengenai Dzat Tuhan. Aku pun sadar bahwa tidak ada orang yang lebih berpengetahuan, melainkan engkau. Apakah kautahu masalah tersebut?'
Imam Syafi'i marah mendengar pertanyaanku itu seraya berkata, 'Tahukah di mana engkau sekarang? Ini negeri tempat Allah menenggelamkan Fir'aun! Apakah engkau pernah mendengar bahwa Rasulullah memerintahkan agar engkau menanyakan masalah itu?'
Abu Hanifah r.a. memiliki seorang murid bernama Abu Yusuf yang sedang sakit keras. Terakhir kali ia menjenguk, ia melihat keadaan Abu Yusuf makin parah sakitnya. Sepulangnya dari kediaman muridnya, Abu Hanifah r.a. berkata, "Aku pernah berharap agar ia menjadi imam bagi kaum muslimin setelahku. Jika orang-orang sampai kehilangan orang itu, sungguh banyak ilmu menjadi mati!"
Atas izin Allah SWT, Abu Yusuf dikaruniai kesembuhan dan lepas dari penyakitnya. la pun mendengar perkataan guru tentang dirinya. Akhirnya, semangatnya bertambah untuk mengajarkan ilmu hingga perhatian orang-orang pun tertuju kepadanya.
Lalu, ia mengadakan majelis sendiri untuk membahas Fiqih. Namun, sangat disayangkan karena kini ia jarang menghadiri majelis pengajian gurunya, Abu Hanifah r.a.
Atas izin Allah SWT, Abu Yusuf dikaruniai kesembuhan dan lepas dari penyakitnya. la pun mendengar perkataan guru tentang dirinya. Akhirnya, semangatnya bertambah untuk mengajarkan ilmu hingga perhatian orang-orang pun tertuju kepadanya.
Lalu, ia mengadakan majelis sendiri untuk membahas Fiqih. Namun, sangat disayangkan karena kini ia jarang menghadiri majelis pengajian gurunya, Abu Hanifah r.a.
Rasulullah saw. bersabda bahwa manusia pertama yang diberi putusan keadilan di antara mereka pada hari kiamat adalah pertama, orang yang meninggal dunia dalam peperangan. la dibawa ke hadapan Allah SWT dan diberi tahu akan nikmat dan karunia-Nya sehingga ia pun mengetahuinya. Lalu, Allah SWT bertanya, "Karunia nikmat apakah itu?"
la menjawab, "Aku berperang di jalan Engkau hingga aku terbunuh."
Allah SWT menyangkalnya, "Engkau berdusta! Engkau berperang agar dikatakan ksatria dan memang orang-orang mengatakan kamu demikian."
Kemudian Allah SWT memerintahkan agar orang itu agar diseret hingga dicampakkan ke dalam neraka.
la menjawab, "Aku berperang di jalan Engkau hingga aku terbunuh."
Allah SWT menyangkalnya, "Engkau berdusta! Engkau berperang agar dikatakan ksatria dan memang orang-orang mengatakan kamu demikian."
Kemudian Allah SWT memerintahkan agar orang itu agar diseret hingga dicampakkan ke dalam neraka.
Yahya bin Ja'far menuturkan bahwa ia mendengar Abu Hanifah r.a. mengisahkan:
Aku sangat membutuhkan air, lalu pergi ke sebuah kampung. Setibanya di sana datanglah seorang Arab Badui yang membawa sekendi air. la menolak memberi air itu, kecuali membelinya sebanyak lima dirham. Aku pun membayar lima dirham dan sekendi air itu aku terima.
Kemudian aku menawarkan kepada orang itu kue Sawiq yang berminyak, "Maukah engkau makan Sawiq?" la tidak menolaknya dan memakannya hingga kenyang. Hal yang lazim jika ia kemudian merasa haus. Orang itu pun meminta air. Aku menjawab, "Lima dirham".
la pun membayar dengan uang lima dirham yang tadi aku berikan untuk membeli sekendi airnya untuk membeli secawan air yang aku berikan. Akhirnya, aku memperoleh uang lima dirhamku kembali beserta sisa air dalam kendi yang masih ada di tanganku.
Aku sangat membutuhkan air, lalu pergi ke sebuah kampung. Setibanya di sana datanglah seorang Arab Badui yang membawa sekendi air. la menolak memberi air itu, kecuali membelinya sebanyak lima dirham. Aku pun membayar lima dirham dan sekendi air itu aku terima.
Kemudian aku menawarkan kepada orang itu kue Sawiq yang berminyak, "Maukah engkau makan Sawiq?" la tidak menolaknya dan memakannya hingga kenyang. Hal yang lazim jika ia kemudian merasa haus. Orang itu pun meminta air. Aku menjawab, "Lima dirham".
la pun membayar dengan uang lima dirham yang tadi aku berikan untuk membeli sekendi airnya untuk membeli secawan air yang aku berikan. Akhirnya, aku memperoleh uang lima dirhamku kembali beserta sisa air dalam kendi yang masih ada di tanganku.
Dikisahkan bahwa seorang pemilik keledai menyewakan keledainya kepada seorang musafir yang hendak meneruskan perjalanan. Sebagaimana biasanya, pemilik keledai itu berjalan kaki menyertai hewan yang disewakannya, sementara penyewanya mengendarai keledainya menelusuri perjalanan.
Dikarenakan hari sangat terik tersengat sinar matahari, sementara tidak ada pohon rindang yang dapat memberikan keteduhan, mereka berhenti untuk beristirahat.
Mereka berdua akan berteduh di bawah bayangan keledai itu. Akan tetapi, bayangan keledai itu tidak cukup untuk berteduh mereka berdua. Lelaki penyewa itu berkata, "Menjauhlah dari keteduhan bayangan keledaiku!"
Dikarenakan hari sangat terik tersengat sinar matahari, sementara tidak ada pohon rindang yang dapat memberikan keteduhan, mereka berhenti untuk beristirahat.
Mereka berdua akan berteduh di bawah bayangan keledai itu. Akan tetapi, bayangan keledai itu tidak cukup untuk berteduh mereka berdua. Lelaki penyewa itu berkata, "Menjauhlah dari keteduhan bayangan keledaiku!"
Dikisahkan bahwa seorang lelaki datang menemui Umar bin Khaththab r.a. Lalu, lelaki itu mengadu domba salah seorang sahabatnya dalam majelis dengan menceritakan keburukannya kepada Umar r.a. sambil marah-marah.
Setelah mendengar semua aduannya, Umar r.a. berpikir sejenak dan berkata, "Baiklah, jika engkau mau, kami akan meninjau masalahmu dan mengetahui berita yang engkau sampaikan. Jika engkau berdusta, engkau termasuk orang yang dikatakan dalam Al-Qur'an: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah kebenarannyo agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohon (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS Al-Hujurat [49]: 6)
Umar r.a. melanjutkan, "Jika engkau benar, engkau termasuk orang yang dikatakan dalam Al-Qur'an: Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menshina, suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah." (QS. Al-Qalam [68]: 10-11)
Setelah mendengar semua aduannya, Umar r.a. berpikir sejenak dan berkata, "Baiklah, jika engkau mau, kami akan meninjau masalahmu dan mengetahui berita yang engkau sampaikan. Jika engkau berdusta, engkau termasuk orang yang dikatakan dalam Al-Qur'an: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah kebenarannyo agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohon (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS Al-Hujurat [49]: 6)
Umar r.a. melanjutkan, "Jika engkau benar, engkau termasuk orang yang dikatakan dalam Al-Qur'an: Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menshina, suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah." (QS. Al-Qalam [68]: 10-11)
Al-Ashmu'i menuturkan bahwa Ibnu Abi Burdah selalu mendekati Umar bin Abdul Aziz r.a. dan beribadah sebaik-baiknya di hadapannya. la menyempurnakan ruku' dan sujudnya dalam shalat berjemaah bersama kaum muslimin lainnya.
Ketekunannya menarik perhatian Umar r.a. Kemudian Umar r.a. memanggil asistennya, Al-Ala' bin Al-Mughirah r.a. yang juga orang kepercayaannya. Umar r.a. menceritakan tentang hamba Allah yang taat beribadah tersebut, lalu sang asisten diperintahkan untuk mencari tahu tentang ketulusan orang tersebut dalam beribadah.
Al-Ala' r.a. menyanggupinya, "Aku akan membawa berita tentang orang itu kepada engkau, wahai Amirul Mukminin." Ketika orang tersebut sedang shalat sunnah antara Magrib dan Isya', Al-Ala' r.a. berkata kepadanya, "Segerakanlah shalatmu! Aku memerlukanmu!"
Ketekunannya menarik perhatian Umar r.a. Kemudian Umar r.a. memanggil asistennya, Al-Ala' bin Al-Mughirah r.a. yang juga orang kepercayaannya. Umar r.a. menceritakan tentang hamba Allah yang taat beribadah tersebut, lalu sang asisten diperintahkan untuk mencari tahu tentang ketulusan orang tersebut dalam beribadah.
Al-Ala' r.a. menyanggupinya, "Aku akan membawa berita tentang orang itu kepada engkau, wahai Amirul Mukminin." Ketika orang tersebut sedang shalat sunnah antara Magrib dan Isya', Al-Ala' r.a. berkata kepadanya, "Segerakanlah shalatmu! Aku memerlukanmu!"
Seorang lelaki menitipkan uang kepada sekretaris Hakim lyas r.a. sebelum berangkat melakukan perjalanan. Namun, ketika ia kembali dan hendak mengambil titipannya, sekretaris itu membantah telah menerima titipan tersebut. Lelaki itu merasa tertipu, akhirnya melaporkan kepada atasan sekretaris tersebut, yaitu Hakim lyas r.a.
Laporan tersebut didengar lyas r.a. dengan saksama dan berjanji akan menanganinya dengan segera. la tidak menyangka bawahannya akan berlaku curang dan picik seperti itu. Lalu, ia bertanya kepada orang tersebut, "Apakah engkau memberi tahu sekretarisku bahwa engkau akan menemuiku?"
"Tidak," jawab lelaki itu.
"Apakah engkau sudah memperkarakan masalah ini kepada orang lain?" tanya lyas r.a. kembali.
Laporan tersebut didengar lyas r.a. dengan saksama dan berjanji akan menanganinya dengan segera. la tidak menyangka bawahannya akan berlaku curang dan picik seperti itu. Lalu, ia bertanya kepada orang tersebut, "Apakah engkau memberi tahu sekretarisku bahwa engkau akan menemuiku?"
"Tidak," jawab lelaki itu.
"Apakah engkau sudah memperkarakan masalah ini kepada orang lain?" tanya lyas r.a. kembali.
Muawiyah r.a. berkata kepada seorang laki-laki dari Yaman, "Betapa bodoh kaummu ketika diperintah oleh seorang perempuan (Ratu Balqis pada masa Nabi Sulaiman a.s.)!"
Lelaki itu menjawab, "Yang lebih bodoh dari kaumku adalah kaummu (Quraisy pada zaman jahiliah) yang mengatakan ketika diajak oleh Rasulullah saw. untuk menyembah Allah Yang Maha rahman, "... Ya Allah, jika (Al-Qur'an) ini benar (wahyu) dari Engkau maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (QS Al-Anfal [8]: 32)."
Bukankah mereka seharusnya mengatakan, "Ya Allah, jika ini adalah kebenaran dari sisi Engkau, tunjukilah kami pada kebenaran itu!"
Lelaki itu menjawab, "Yang lebih bodoh dari kaumku adalah kaummu (Quraisy pada zaman jahiliah) yang mengatakan ketika diajak oleh Rasulullah saw. untuk menyembah Allah Yang Maha rahman, "... Ya Allah, jika (Al-Qur'an) ini benar (wahyu) dari Engkau maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (QS Al-Anfal [8]: 32)."
Bukankah mereka seharusnya mengatakan, "Ya Allah, jika ini adalah kebenaran dari sisi Engkau, tunjukilah kami pada kebenaran itu!"
Seorang pengemis meminta kepada seorang Arab Badui agar memberinya sesuatu yang ia butuhkan. Lelaki Arab itu menjawab, "Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikan kepada orang lain karena yang aku miliki lebih aku butuhkan daripada orang lain."
Pengemis itu mengucapkan penggalan ayat Al-Qur'an untuk disalahgunakan demi kepentingannya, "Di manakah '... orang-orang yang lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri ...' (QS Al-Hasyr [59]: 9) ?"
Arab Badui itu membalasnya, "Mereka pergi bersama '... orang-orang yang memelihara diri dari meminta-minta ...' (QS Al-Baqarah [2]: 273)."
Pengemis itu mengucapkan penggalan ayat Al-Qur'an untuk disalahgunakan demi kepentingannya, "Di manakah '... orang-orang yang lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri ...' (QS Al-Hasyr [59]: 9) ?"
Arab Badui itu membalasnya, "Mereka pergi bersama '... orang-orang yang memelihara diri dari meminta-minta ...' (QS Al-Baqarah [2]: 273)."
Pada suatu hari Yahya bin Khalid Al-Barmaki r.a. memanggil anaknya, Ibrahim yang dijuluki Dinar Bani Barmak (Mata Uang Emas Marga Barmak) karena ketampanannya. Begitu pula, para guru ngaji dan pengasuhnya turut dipanggil. Yahya bin Khalid r.a. bertanya kepada mereka, "Bagaimana keadaan anakku ini?"
Mereka menjawab pencapaian materi-materi yang telah diajarkan dan diserap oleh Ibrahim putra Yahya. Namun, Yahya menukas, "Bukan itu yang aku tanyakan. Apakah kalian mengajarkan semangat kepadanya, apakah kalian telah menumbuhkan sikap satria pada dirinya untuk menolong orang lain, dan menanamkan rasa cinta kepada mereka?"
Mereka semua tertunduk dan menjawab, "Tidak."
Kekecewaan tampak di wajah Yahya r.a. la pun menasihati para guru dan pengasuh putranya, "Betapa buruk kalian menjadi pengasuh dan pendidik. Demi Allah, dia lebih membutuhkan itu daripada yang kalian ajarkan!"
Kemudian Yahya bin Khalid Al-Barmaki r.a. minta dibawakan uang lima ratus dinar dan menyuruh membagikannya kepada siapa saja.
Mereka menjawab pencapaian materi-materi yang telah diajarkan dan diserap oleh Ibrahim putra Yahya. Namun, Yahya menukas, "Bukan itu yang aku tanyakan. Apakah kalian mengajarkan semangat kepadanya, apakah kalian telah menumbuhkan sikap satria pada dirinya untuk menolong orang lain, dan menanamkan rasa cinta kepada mereka?"
Mereka semua tertunduk dan menjawab, "Tidak."
Kekecewaan tampak di wajah Yahya r.a. la pun menasihati para guru dan pengasuh putranya, "Betapa buruk kalian menjadi pengasuh dan pendidik. Demi Allah, dia lebih membutuhkan itu daripada yang kalian ajarkan!"
Kemudian Yahya bin Khalid Al-Barmaki r.a. minta dibawakan uang lima ratus dinar dan menyuruh membagikannya kepada siapa saja.
Tersebutlah seorang mujahid bernama Farrukh r.a. membawa harta rampasan hasil kemenangannya bersama kaum muslimin dari suatu peperangan. Dengan harta tersebut, ia membangun rumah dekat masjid dan menikah.
Ketika istrinya sedang mengandung, datanglah panggilan jihad kepadanya agar bergabung dengan ekspedisi kaum muslimin menuju Khurasan untuk berperang di masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebelum berangkat, ia menitipkan uang sejumlah 30.000 dinar kepada sang istri.
Tahun demi tahun berlalu. la tidak pernah mendengar kabar tentang suaminya sehingga tersiarlah kabar bahwa sang suami tercinta telah gugur sebagai syuhada di medan perang. Anak yang terlahir dari rahimnya pun telah beranjak dewasa. Anak lelaki itu bernama Rabi'ah.
Ketika istrinya sedang mengandung, datanglah panggilan jihad kepadanya agar bergabung dengan ekspedisi kaum muslimin menuju Khurasan untuk berperang di masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebelum berangkat, ia menitipkan uang sejumlah 30.000 dinar kepada sang istri.
Tahun demi tahun berlalu. la tidak pernah mendengar kabar tentang suaminya sehingga tersiarlah kabar bahwa sang suami tercinta telah gugur sebagai syuhada di medan perang. Anak yang terlahir dari rahimnya pun telah beranjak dewasa. Anak lelaki itu bernama Rabi'ah.
Syekh Dr. Muhammad Al-'Arifi menukil sebuah cerita dari Imam Adz-Dzahabi ketika beliau mengisahkan tentang Imamul Haramain, Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini r.a., katanya, "Konon Al-Juwaini jika berkhotbah atau berdebat, kadang mengalami kesulitan bicara atau gagap dan tertegun sejenak. Lidahnya seakan kelu dan kaku, tak mampu melanjutkan ucapannya. Jika hal itu terjadi, ia berkata kepada orang-orang, Demi Allah, aku tahu sebab dari kegagapanku ini."
"Apa sebabnya?" tanya mereka.
la menjawab, "Dahulu, ayahku adalah seorang saleh dan berilmu. la berprofesi sebagai mu'alim (guru atau syekh). Ayahku sungguh berhati-hati dalam mencari penghasilan halal. la tidak pernah memasukkan sesuatu pun ke dalam rumahnya, kecuali yang diyakini benar kehalalannya. la melarang ibuku untuk menyusukanku kepada wanita lain".
Ayah memberi alasan kepada ibu, "Aku yakin bahwa makanan, minuman, dan pakaianmu semua halal. Namun, wanita lain aku taktahu, dari manasuaminya menafkahinya. Jadi, hati-hatilah jangan sampai anak ini disusui atau diberi makan orang lain!" perintah ayah kepada ibuku.
"Apa sebabnya?" tanya mereka.
la menjawab, "Dahulu, ayahku adalah seorang saleh dan berilmu. la berprofesi sebagai mu'alim (guru atau syekh). Ayahku sungguh berhati-hati dalam mencari penghasilan halal. la tidak pernah memasukkan sesuatu pun ke dalam rumahnya, kecuali yang diyakini benar kehalalannya. la melarang ibuku untuk menyusukanku kepada wanita lain".
Ayah memberi alasan kepada ibu, "Aku yakin bahwa makanan, minuman, dan pakaianmu semua halal. Namun, wanita lain aku taktahu, dari manasuaminya menafkahinya. Jadi, hati-hatilah jangan sampai anak ini disusui atau diberi makan orang lain!" perintah ayah kepada ibuku.
Suatu ketika Fatimah binti Ubaidillah r.a., ibunda Imam Syafi'i r.a., diminta oleh hakim untuk menjadi saksi di pengadilan. la pun mengajak seorang temannya untuk ikut bersaksi. Setibanya di pengadilan, hakim itu berkata, "Yang boleh bersaksi hanyalah kamu, temanmu tidak boleh!"
Ibunda Imam Syafi'i r.a. lalu menyanggah, "Anda tidak bisa berkata seperti itu! Allah SWT berfirman, "... Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya ...." (QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Hakim pun terdiam dan mengakui kercerdasan ibunda Syafi'i. Tidak heran jika kecerdasannya menurun kepada putranya yang terkenal cerdas luar biasa dan luas ilmunya sehingga sulit tertandingi oleh generasi setelahnya.
Ibunda Imam Syafi'i r.a. lalu menyanggah, "Anda tidak bisa berkata seperti itu! Allah SWT berfirman, "... Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya ...." (QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Hakim pun terdiam dan mengakui kercerdasan ibunda Syafi'i. Tidak heran jika kecerdasannya menurun kepada putranya yang terkenal cerdas luar biasa dan luas ilmunya sehingga sulit tertandingi oleh generasi setelahnya.
Amr bin Utbah berkata kepada guru anaknya, "Hendaklah yang pertama engkau lakukan dalam memperbaiki anakku adalah terlebih dahulu memperbaiki dirimu sendiri. Sebab pandangan matanya terikat dengan pandangan matamu. Jadi, yang baik bagi mereka adalah apa yang engkau lakukan dan yang buruk baginya adalah yang engkau tinggalkan."
"Ajarilah ia kitab Allah dan janganlah dipaksakan agar ia tidak jemu padanya. Namun, janganlah sampai ditinggalkan Kitab Allah itu agar ia tidak menjauhinya."
"Ajarilah ia hadis Nabi saw. dan juga sastra. Janganlah berpindah dari satu ilmu ke ilmu lain sebelum ia benar-benar menguasainya. Sebab menumpuknya pengetahuan di kepala akan membuat kesibukan di mulut."
"Ajarilah ia kitab Allah dan janganlah dipaksakan agar ia tidak jemu padanya. Namun, janganlah sampai ditinggalkan Kitab Allah itu agar ia tidak menjauhinya."
"Ajarilah ia hadis Nabi saw. dan juga sastra. Janganlah berpindah dari satu ilmu ke ilmu lain sebelum ia benar-benar menguasainya. Sebab menumpuknya pengetahuan di kepala akan membuat kesibukan di mulut."
Ummu Sulaim r.a. adalah ibu Anas r.a. hasil perkawinannya dengan Malik bin Nadhar pada zaman jahiliah. Setelah suaminya meninggal, ia pun menjanda. Abu Thalhah yang pada saat itu masih musyrik hendak melamar Ummu Sulaim r.a. yang telah menjadi seorang muslimah.
Terang saja ia menolak lamaran tersebut sambil berkata, "Abu Thalhah, apakah engkau tidak tahu bahwa yang kamu sembah itu adalah batu yang tidak dapat memberi manfaat atau mudharat kepadamu? Jika kamu bersedia masuk Islam, aku pun bersedia menikah denganmu."
Nasihat tersebut mendorong Abu Thalhah r.a. untuk masuk Islam dan ia menjadikan keislamannya sebagai mahar untuk menikahi Ummu Sulaim r.a.
Terang saja ia menolak lamaran tersebut sambil berkata, "Abu Thalhah, apakah engkau tidak tahu bahwa yang kamu sembah itu adalah batu yang tidak dapat memberi manfaat atau mudharat kepadamu? Jika kamu bersedia masuk Islam, aku pun bersedia menikah denganmu."
Nasihat tersebut mendorong Abu Thalhah r.a. untuk masuk Islam dan ia menjadikan keislamannya sebagai mahar untuk menikahi Ummu Sulaim r.a.
Langganan:
Postingan (Atom)